BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Sistem
pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan secara
berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan
dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi social, agar Narapidana menyadari
kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali
menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan
lingkungannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem
pembinaan bagi Narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar, yaitu
dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya
yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi
Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat
Pemasyarakatan Nomor J.H.G8/506 tanggal 17 Juni 1964.
Sambutan Menteri
Kehakimantahun 1976 mendasarkan kembali prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan
sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam konferensi Lembang tahun
1964, yaitu terdiri dari sepuluh prinsip yang dikenal dengan prinsip pemasyarakatan
:
1.
Orang
yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang
baik dan berguna dalam masyarakat;
2.
Penjatuhan
pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara;
3.
Rasa
tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan;
4.
Negara
tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari
pada sebelum ia masuk lembaga;
5.
Selama
kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat
dan tidak boleh di asingkan darimasyarakat;
6.
Pekerjaan
yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya
diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja, pekerjaan yang
diberikan tugas ditunjukan untuk pembangunan Negara;
7.
Bimbingan
dan didikan harus berdasarkan Asas Pancasila;
8.
Tiap
orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah
tersesat tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa itu penjahat;
9.
Narapidana
itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;
10.
Sarana
fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan
sistem pemasyarakatan.[1]
Pengertian dari Lembaga
Pemasyarakatan terdapat dalamPasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatanyaitu, “lembaga
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan
Anak Didik Pemasyarakatan.”
Dengan demikian daulu sebuah LAPAS merupakan suatu tempat yang sangat kejam
karena LAPAS masih bertujuan sebagai pembalasan dendam yang dilakukan oleh
Negara kepada narapidana, sekarang hal itu telah berubah seperti yang terdapat
pada tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu, “agar menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab.”
Citra Lembaga Pemasyarakatan yang tertutup dan misterius sekaligus orang
masih berpandangan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat penyiksaan maupun
berkumpulnya penjahat, dengan kata lain tidak ada pandangan positif bagi
Lembaga Pemasyarakatan.
Citra Lembaga Pemasyarakatan yang sudah terstigma dalam masyarakat layaknya
penjara itu tidak semuanya benar adanya karena sekarang ada sistem
pemasyarakatan untuk membina dan merehabilitasi narapidana untuk menjadi lebih
baik bukan lagi untuk pembalasan dendam sesuai dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Oleh karena itu seharusnya orang yang masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan
sudah tidak melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum lagi tetapi Lembaga
Pemasyarakatan yang tertutup dari dunia luar bukan merupakan tempat yang
potensial untuk perbaikan malah menjadi sebagai “sekolah kejahatan”.
Banyak ketidaktentraman di Lembaga Pemasyarakatan merupakan tragedi-tragedi
kemanusiaan yang mencekam daripada yang terlihat dari luar dan meresahkan juga
untuk dunia luar (masyarakat) seperti narapidana yang melarikan diri,terjadi kerusuhan atau
bentrokan, ketidaksejahteraan Lembaga Pemasyarakatan karena minimnya fasilitas
pendukung pembinaan untuk narapidana, dan lain-lain.
Hal tersebut yang memperkuat dugaan stigma dimasyarakat itu benar, ada
beberapa fakta yang memperkuat terjadinya tindak pidana di Lembaga
Pemasyarakatan sekaligus sebagai suatu kendala yang sulit diatasi seperti
kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu. Kerusuhan tersebut seperti yang
diwartawankan di harian Sriwijaya Post dilatarbelakangi oleh razia yang
dilakukan oleh Polres Muba berkaitan dengan diduga adanya pengedaran narkotika
didalam sel tahanan. Namun sayangnya, razia yang dilakukan tak membuahkan
hasil, selain tak dapat barang bukti, malah napi Lapas Sekayu yang mengamuk.[2]
Menurut KUHP yang termasuk kerusuhan sesuai delik-deliknya adalah diatur
pada Bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum dalam Pasal 170 KUHP
sebagai sebab perkelahian pada umumnya penggunaan kekerasan dimuka umum
sedangkan orang yang turut perkelahian/penyerbuan/penyerangan yang dilakukan
oleh beberapa orang menurut Pasal 358 KUHP dapat dipidana.
Berdasarkan uraian diatas Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan
belum dapat mewujudkan tujuannya karena masih ada kerusuhan di Lembaga
Pemasyarakatan itu sendiri, oleh karena itu harus dicari faktor yang
menyebabkan terjadinya kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat
dilakukan suatu upaya untuk mencegah hal tersebut.
Ada berbagai kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusuhan
tersebut yaitu dapat dilihat dari faktor narapidana yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan secara psikologi narapidana yang terpenjara sering berkhayal
kehidupan di alam bebas di luar penjara ada kemungkinan ingin melarikan diri
atau dapat mempengaruhi emosinya juga.
Selain itu faktor pendidikan narapidana yang rendah ditambah kesejahteraan
narapidana yang tidak memadai dengan fasilitas yang minim di Lembaga
Pemasyarakatan, faktor petugas Lembaga Pemasyarakatan yang lebih sedikit dari
narapidananya bila ada kerusuhan tidak tertangani dan tidak jarang petugas juga
menjadi korban, faktor pekerjaan dengan tanggung jawab yang berat tidak sesuai dengan kesejahteraan
petugas Lembaga Pemasyarakatan, dan faktor pendidikan petugas Lembaga
Pemasyarakatan yang masih tergolong
rendah dapat mempengaruhi.
Setelah diketahui faktor-faktor penyebabnya maka dari hal tersebut dapat
dilakukan suatu upaya pencegahan dari internLembaga
Pemasyarakatan itu sendiri atau menindak dengan tegas narapidana yang
memprofokasi dan yang turut serta terjadinya kerusuhan dengan masa hukuman
diperberat, atau dengan memberikan kegiatan yang positif bagi narapidanam atau
membekali para petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam menangani kerusuhan, dapat
juga menambah personil dari petugas Lembaga Pemasyarakatan sehingga narapidana
dapat semuanya terkontrol dan tidak kewalahan menanganinya.
Sampai sekarang tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan untuk membina Narapidana
belum terwujud semuanya karena di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri masih banyak
tindak pidana yang dilakukan narapidana pada khususnya kerusuhan yang merugikan
berbagai pihak.
B.
Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat
dirumuskan adanya permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana
implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dalam
upaya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kerusuhan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Sekayu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Implementasi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
dalam upaya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kerusuhan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Sekayu
Pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan harus
dilandaskan pada aturan hukum yang berlaku
agar pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia dapat direalisasikan.
Ketidakmampuan
aparat penegak hukum, (khususnya pemasyarakatan) dalam mengupayakan
perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia (khususnya
para pelanggar hukum) mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan negara
atau terjadinya pengabaian (by ommision)
terhadap hak konstitusional warga negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal28
Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 28 D ayat (1) : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dimata hukum.
Pasal 28 I :
(1)
Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapkan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2)
Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun juga dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
(3)
Perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.
(4)
Untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan prinsip poko dalam Undang-Undang Dasar 1945
tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
di dalam Pasal 3 ayat (3) menegaskan bahwa : “setiap orang berhak atas
perlindungan hak asas manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa deskriminasi.”
Berkaitan dengan hal-hal diatas, peranan masyarakat
menjadi suatu kata kunci bagi keberhasilan terlaksananya proses pemasyarakatan.
Dengan konsep berpikir demikian, maka dengan pengondisian masyarakat pun adalah
merupakan tugas yang tidak boleh dikesampingkan oleh sistem pemasyarakatan.
Karena suksesnya sistem ini sangat ditentukan oleh kesediaan masyarakat untuk
berpatisipasi dalam proses pembinaan narapidana melalui social participation, social
support, dan social control.
Dalam paham re-integrasi sosial
menurut Purnomo, dikatakan bahwa :
Tindakan instusionalisasi akan
potensial (cenderung) menimbulkan bahaya
prosonisasi (yakni terkontaminasinya mental penghuni dengan budaya penjara),
stigmatisasi (proses pemberian lebel atau cap kepada seseorang bahwa ia itu
penjahat dan ia akan menghayati predikat itu sehingga mengakibatkan
penyimpangan perilaku yang sekunder); dan keduanya pada gilirannya akan
menumbuhsuburkan residivisme (pengulangan perilaku jahat).[3]
Nilai historis tentang hak asasi narapidana terdahulu,
dimana narapidana sering mendapatkan perlakuan yang melanggar hak dasar sebagai
manusia karena diperlakukan tidak manusiawi. Oleh karena itu atas kondisi
penjara dan tahanan tersebut, pada tanggal 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa
memberlakukan Konvensi 1948 menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman
lain yang kejam dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya yang dikenal sebagai
Konvensi Anti Penyiksaan, dimana pada saat ini Pemerintah Indonesia
meratifikasi Kovensi tersebut pada 1998.[4]
Inti dari Kovensi Anti Penyiksaan tersebut melarang
penyiksaan tahanan dan narapidana, disamping menyerukan penghapusan semua
bentuk hukuman yang keji dan merendahkan martabat. Namun juga menegaskan
bahwa penyiksaan, apalagi pembunuhan,
terhadap tahanan atau narapidana merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia
terhadap instrumen-instrumen hak asasi internasional juga menetapkan standar
minimum bagi perlindungan hak asasi mausia narapidana dan tahanan.
Standar minimum
tersebut meliputi tidak boleh menyiksa ataupun menyakiti mereka dengan alasan
apapun. Untuk mencegah penyiksaan dan perbuatan menyakiti narapidana, maka
penjara dan tempat-tempat tahanan harus terbuka bagai pemantau independen
seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Palang Merah Internasional, ataupun
Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat.
Narapidana
merupakan pelaku tindak pidana yang memiliki hak sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan penulis dengan kasubsi perawatan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Sekayu
mengungkapkan bahwa jumlah narapidana pada Lembaga Pemusyawaratan Klas
II B Sekayu saat ini sudah melebihi kapasitas lapas tersebut. Dampak yang
ditimbulkan dari kelebihan kapasitas tersebut berujung pada pemenuhan hak tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya.[5]
Menanggapi komentar
tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Narapidana yang
beranggapan bahwa keadaan saat ini memprihatinkan. Semestinya kelebihan kapasitas
daya tampung tidak boleh berujung pada minimnya pemenuhan hak bagi narapidana.
Jika kelebihan daya tampung tidak dapat teratasi semestinya anggaran untuk
melakukan pemenuhan hak bagi narapidana ditambah sesuai dengan kelebihan daya
tampung di lapas sehingga narapidana tidak menjadi korban atas adanya kelebihan
daya tampung yang dimiliki lembaga pemasyarakatan tersebut.[6]
Menurut ketentuan
Pasal 14, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, PP. No. 32 Tahun 1999
Tentang Syarat dan Tata Cara Pelakasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
Serta PP No. 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan PP. No. 32 Tahun 1999 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adapun hak-hak
utama yang harus diterima oleh seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan,
sebagai berikut :
1.
Hak untuk dapat
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan, bimbingan agama;
Terutama memberikan pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat
menyadari akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar dan perbuatan-perbuatan
yang salah.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Lysah Afrika, hak ini diberikan
sebagai bentuk usaha yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu
agar Narapidana dapat diteguhkan imannya yang di lakukan dengan cara-cara yang antara
lain untuk Narapidana yang beragama Islam yaitu dengan cara mengadakan
pengajian dan siraman rohani. Jadwal kegiatan tersebut dilakukan setiap hari
Senin sampai dengan hari Jumats. Untuk Narapidana yang beragama Kristen dengan
melakukan kebaktian yang jadwal kegiatannya adalah setiap hari. Sedangkan untuk
yang beragama Hindu dan Budha juga dilakukan siraman rohani dengan mendatangkan
rohaniawan dari Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten Muba setiap bulannya
pada Minggu kedua.[7]
2.
Hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Lysah Afrika, yang menjelaskan
Hak ini diberikan dengan cara mengadakan kegiatan donor darah, pemeriksaan
kesehatan tahanan/narapidana yang dilaksanakan 1 (satu) bulan sekali,
mengadakan pertandingan olah raga, kegiatan senam dan lari pagi yang
dilaksanakan di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu.[8]
3.
Hak mendapatkan
pendidikan dan pengajaran, bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang;
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dedi, bahwa di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II B Sekayu pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar
meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan.[9]
Sedangkan pendidikan non-formal berdasarkan hasil wawancara dengan Yulia,
pendidikan tersebut diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
melalui kursus-kursus, latihan keterampilan dan sebagainya.
Bentuk pendidikan non-formal yang paling mudah dan paling murah adalah
kegiatan-kegiatan ceramah umum dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memperoleh informasi dari luar, misalnya dengan membaca koran/majalah,
buku-buku yang ada di perpustakaan, menonton TV, mendengarkan radio dan
sebagainya. Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan baik formal maupun
non-formal dengan mengupayakan melalui cara belajar program Kejar Paket A dan
kerja usaha yang diasuh oleh pihak luar dalam hal ini pihak Dinas Departemen
Pendidikan Nasional dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Muba.[10]
4.
Hak untuk
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
Hak ini menurut hasil wawancara diberikan kepada narapidana yang berstatus
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). WBP adalah narapidan yang memiliki masa
hukuman yang lama serta berkelakukan baik akan tetapi masa hukumannya hampir
habis. WBP tersebut diberikan kesempatan magang diluar ditempat-tempat yang
telah ditunjuk oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu. Sehingga upah yang
diterima oleh WBP tersebut adalah hasil dari kegiatan kerja mereka tersebut.[11]
5.
Hak untuk
menyampaikan keluhan;
Sedangkan hak menyampaikan keluhan menurut hasil wawancara adalah dapat
disampaikan apabila narapidana yang bersangkutan telah terjadi pelanggaran hak
asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang
dilakukan oleh aparat LAPAS atau sesama
narapidana maupun petugas pemasyarakatan.[12]
6.
Hak untuk menerima
kenjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa hak untuk menerima kunjungan diberikan
agar tahanan/narapidana tersebut tidak merasa dikucilkan dari lingkungannya.[13]
7.
Hak remisi
istimewa;
Hak remisi istimewa diberikan bagi narapidana yang memiliki kelakuan baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kunci Kurniawan Bin Azis yang intinya bahwa
dia cukup merasa diuntungkan dengan diterapkannya hak remisi ini di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Sekayu. Dengan diterapkan hak tersebut Kunci Kurniawan
Bin Azis dapat dengan cepat bebas sebelum masa hukumannya berakhir.[14]
Hak-hak yang disebutkan diatas mulai dari nomor 1 hingga
nomor 3 menurut wawancara Kepala Lembaga Pemasyarakatan diberikan dan dilaksanakan dengan memperhatikan status yang
bersangkutan sebagai narapidana, dengan demikian pelaksanaanya dalam
batas-batas yang diijinkan.[15]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dalam upaya untuk mencegah dan
mengatasi terjadinya kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu
telah diimplementasikan dengan baik.
B.
Saran
1.
Penegak
hukum yang tergabung didalam sistem peradilan pidana terpadu agar selalu
diadakan pertemuan secara berkala. Dimana pertemuan itu membicarakan
masalah-masalah yang terjadi didalam pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini
sangat penting agar penegakan hukum dan perlindungan bagi hak asasi tahanan dan
narapidana dapat terlaksana dengan baik.
2.
Hal
yang juga sangat penting adalah masalah koordinasi dan kerjasama antar
penegakan hukum dan dijauhkan sifat-sifat ego sektoral dari masing-masing
lembaga penegak hukum agar sistem peradilan pidana terpadu yang diharapkan oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat terlaksana.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
:
Aswanto, 1999, Jaminan
Perlindungan HAM dalam KUHAP dan Bantuan Hukum Terhadap Penegakan HAM di
Indonesia, Disertasi, Makasar, Perpustakaan FH-Unair.
Dahlan, M.Y. Al-Barry, 2003, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelectual¸ Surabaya, Target
Press.
Ismail Ramadan, 2007, Kriminologi
Studi tentang Sebab-Sebab Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir, 2008, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moeljatno, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Cet. Ke-14, Bina Aksara, Jakarta, 2005.
Naning Ramdlon, 1983, HAM
di Indonesia, Jakarta, Lembaga Kriminologi UI Makalah.
Panjaitan dan Simorangkir, 1995, LAPAS dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka
Sinar harapan.
Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung.
P.A.F Lamintang, Hukum
Panitensier Indoensia, Armico, Bandung, 2004.
R. Soesilo, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana serta Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
Politeia, Bandung, 2005.
Romli Atmasasmita, Stategi
Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2002.
Soekento, Soerjono, 2008, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press).
Sudarto, 1986, Kapita
Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
2002, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Widiada Gunakarya S.A, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarkatan, Armico, Bandung, 2008.
Lain-lain
:
Http://www.google.com/www.ri.go.id/, Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Http://www.google.com/www.ri.go.id, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
Tentang Pemasyarakatan.
Harian Sriwijaya Post, Terbitan 23 Februari 2013
Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 9 Tahun III, 2002.
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintahan Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
[1]Dwidja
Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana
Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 98-99.
[2]Harian
Sriwijaya Post, Terbitan 23 Februari 2013, hal. 1.
[3]Dwidja
Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana
penjara di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.35.
[4]Ibid.
[5]
Wawancara dengan Ina Sumpena Kasubsi Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Sekayu, pada tanggal 12 Februari 2014.
[6]
Wawancara dengan warga binaan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Sekayu, pada tanggal 13 Februari 2014.
[7]Wawancara
dengan Ali Sodikin Staf Seksi Registrasi Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan
Klas II B Sekayu, pada tanggal 14 Februari 2014.
[8]Wawancara
dengan Ali Sodikin Staf Seksi Registrasi Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan
Klas II B Sekayu, pada tanggal 14 Februari 2014.
[9]
Wawancara dengan Dedi Avental Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik
(BINADIK) Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 16 Februari
2014.
[10]
Wawancara dengan Ali Sodikin Staf Seksi Registrasi Pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 14 Februari 2014.
[11]Wawancara
dengan Rudik Erminanto Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, tanggal
17 Februari 2014.
[12]
Wawancara dengan Rudik Erminanto Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Sekayu, tanggal 17 Februari 2014.
[13]
Wawancara dengan Dedi Avental Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik
(BINADIK) Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 16 Februari
2014.
[14]
Wawancara dengan Deni Mantan Narapidana Yang Bebas dari Lembaga Pemasyarakatan
Klas II B Sekayu, tanggal 18 Februari 2014.
[15]Wawancara
dengan Rudik Erminanto Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, tanggal
17 Februari 2014.
0 komentar:
Posting Komentar