Senin, 17 November 2014

Jaminan Perlindungan HAM dalam KUHAP dan Bantuan Hukum Terhadap Penegakan HAM di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi social, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi Narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G8/506 tanggal 17 Juni 1964.
Sambutan Menteri Kehakimantahun 1976 mendasarkan kembali prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam konferensi Lembang tahun 1964, yaitu terdiri dari sepuluh prinsip yang dikenal dengan prinsip pemasyarakatan :
1.      Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat;
2.      Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balas dendam dari Negara;
3.      Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan;
4.      Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk lembaga;
5.      Selama kehilangan kemerdekaan bergerak narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh di asingkan darimasyarakat;
6.      Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan lembaga atau Negara saja, pekerjaan yang diberikan tugas ditunjukan untuk pembangunan Negara;
7.      Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Asas Pancasila;
8.      Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat tidak boleh ditunjukkan kepada narapidana bahwa itu penjahat;
9.      Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan;
10.  Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.[1]

Pengertian dari Lembaga Pemasyarakatan terdapat dalamPasal 1 Ayat (3)  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatanyaitu,  “lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat    untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.”
Dengan demikian daulu sebuah LAPAS merupakan suatu tempat yang sangat kejam karena LAPAS masih bertujuan sebagai pembalasan dendam yang dilakukan oleh Negara kepada narapidana, sekarang hal itu telah berubah seperti yang terdapat pada tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yaitu, “agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif  berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Citra Lembaga Pemasyarakatan yang tertutup dan misterius sekaligus orang masih berpandangan Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat penyiksaan maupun berkumpulnya penjahat, dengan kata lain tidak ada pandangan positif bagi Lembaga Pemasyarakatan.
Citra Lembaga Pemasyarakatan yang sudah terstigma dalam masyarakat layaknya penjara itu tidak semuanya benar adanya karena sekarang ada sistem pemasyarakatan untuk membina dan merehabilitasi narapidana untuk menjadi lebih baik bukan lagi untuk pembalasan dendam sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Oleh karena itu seharusnya orang yang masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah tidak melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum lagi tetapi Lembaga Pemasyarakatan yang tertutup dari dunia luar bukan merupakan tempat yang potensial untuk perbaikan malah menjadi sebagai “sekolah kejahatan”.
Banyak ketidaktentraman di Lembaga Pemasyarakatan merupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang mencekam daripada yang terlihat dari luar dan meresahkan juga untuk dunia luar (masyarakat) seperti narapidana yang  melarikan diri,terjadi kerusuhan atau bentrokan, ketidaksejahteraan Lembaga Pemasyarakatan karena minimnya fasilitas pendukung pembinaan untuk narapidana, dan lain-lain.
Hal tersebut yang memperkuat dugaan stigma dimasyarakat itu benar, ada beberapa fakta yang memperkuat terjadinya tindak pidana di Lembaga Pemasyarakatan sekaligus sebagai suatu kendala yang sulit diatasi seperti kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu.   Kerusuhan tersebut seperti yang diwartawankan di harian Sriwijaya Post dilatarbelakangi oleh razia yang dilakukan oleh Polres Muba berkaitan dengan diduga adanya pengedaran narkotika didalam sel tahanan. Namun sayangnya, razia yang dilakukan tak membuahkan hasil, selain tak dapat barang bukti, malah napi Lapas Sekayu yang mengamuk.[2]
Menurut KUHP yang termasuk kerusuhan sesuai delik-deliknya adalah diatur pada Bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum dalam Pasal 170 KUHP sebagai sebab perkelahian pada umumnya penggunaan kekerasan dimuka umum sedangkan orang yang turut perkelahian/penyerbuan/penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang menurut Pasal 358 KUHP dapat dipidana.
Berdasarkan uraian diatas Lembaga Pemasyarakatan sebagai lembaga pembinaan belum dapat mewujudkan tujuannya karena masih ada kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri, oleh karena itu harus dicari faktor yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat dilakukan suatu upaya untuk mencegah hal tersebut.
Ada berbagai kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusuhan tersebut yaitu dapat dilihat dari faktor narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan secara psikologi narapidana yang terpenjara sering berkhayal kehidupan di alam bebas di luar penjara ada kemungkinan ingin melarikan diri atau dapat mempengaruhi emosinya juga.
Selain itu faktor pendidikan narapidana yang rendah ditambah kesejahteraan narapidana yang tidak memadai dengan fasilitas yang minim di Lembaga Pemasyarakatan, faktor petugas Lembaga Pemasyarakatan yang lebih sedikit dari narapidananya bila ada kerusuhan tidak tertangani dan tidak jarang petugas juga menjadi korban, faktor pekerjaan dengan tanggung jawab yang   berat tidak sesuai dengan kesejahteraan petugas Lembaga Pemasyarakatan, dan faktor pendidikan petugas Lembaga Pemasyarakatan yang masih tergolong  rendah dapat mempengaruhi.
Setelah diketahui faktor-faktor penyebabnya maka dari hal tersebut dapat dilakukan suatu upaya pencegahan dari internLembaga Pemasyarakatan itu sendiri atau menindak dengan tegas narapidana yang memprofokasi dan yang turut serta terjadinya kerusuhan dengan masa hukuman diperberat, atau dengan memberikan kegiatan yang positif bagi narapidanam atau membekali para petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam menangani kerusuhan, dapat juga menambah personil dari petugas Lembaga Pemasyarakatan sehingga narapidana dapat semuanya terkontrol dan tidak kewalahan menanganinya.
Sampai sekarang tujuan dari Lembaga Pemasyarakatan untuk membina Narapidana belum terwujud semuanya karena di dalam Lembaga   Pemasyarakatan itu sendiri masih banyak tindak pidana yang dilakukan narapidana pada khususnya kerusuhan yang merugikan berbagai pihak.

B.     Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan adanya permasalahan sebagai berikut :
1.        Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dalam upaya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dalam upaya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu
            Pelaksanaan tugas dan fungsi pemasyarakatan harus dilandaskan pada aturan hukum yang  berlaku agar pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia dapat direalisasikan.
Ketidakmampuan aparat penegak hukum, (khususnya pemasyarakatan) dalam mengupayakan perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia (khususnya para pelanggar hukum) mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan negara atau terjadinya pengabaian (by ommision) terhadap hak konstitusional warga negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal28 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 28 D ayat (1) : setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang      sama dimata hukum.
Pasal 28 I :
(1)   Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapkan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2)   Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun juga dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
(3)   Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(4)   Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan prinsip poko dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 3 ayat (3) menegaskan bahwa : “setiap orang berhak atas perlindungan hak asas manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa deskriminasi.”
Berkaitan dengan hal-hal diatas, peranan masyarakat menjadi suatu kata kunci bagi keberhasilan terlaksananya proses pemasyarakatan. Dengan konsep berpikir demikian, maka dengan pengondisian masyarakat pun adalah merupakan tugas yang tidak boleh dikesampingkan oleh sistem pemasyarakatan. Karena suksesnya sistem ini sangat ditentukan oleh kesediaan masyarakat untuk berpatisipasi dalam proses pembinaan narapidana melalui social participation, social support, dan social control.
Dalam paham re-integrasi sosial menurut Purnomo, dikatakan bahwa :
Tindakan instusionalisasi akan potensial (cenderung) menimbulkan  bahaya prosonisasi (yakni terkontaminasinya mental penghuni dengan budaya penjara), stigmatisasi (proses pemberian lebel atau cap kepada seseorang bahwa ia itu penjahat dan ia akan menghayati predikat itu sehingga mengakibatkan penyimpangan perilaku yang sekunder); dan keduanya pada gilirannya akan menumbuhsuburkan residivisme (pengulangan perilaku jahat).[3]

Nilai historis tentang hak asasi narapidana terdahulu, dimana narapidana sering mendapatkan perlakuan yang melanggar hak dasar sebagai manusia karena diperlakukan tidak manusiawi. Oleh karena itu atas kondisi penjara dan tahanan tersebut, pada tanggal 26 Juni 1987 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan Konvensi 1948 menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya yang dikenal sebagai Konvensi Anti Penyiksaan, dimana pada saat ini Pemerintah Indonesia meratifikasi Kovensi tersebut pada 1998.[4]
Inti dari Kovensi Anti Penyiksaan tersebut melarang penyiksaan tahanan dan narapidana, disamping menyerukan penghapusan semua bentuk hukuman yang keji dan merendahkan martabat. Namun juga menegaskan bahwa  penyiksaan, apalagi pembunuhan, terhadap tahanan atau narapidana merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia terhadap instrumen-instrumen hak asasi internasional juga menetapkan standar minimum bagi perlindungan hak asasi mausia narapidana dan tahanan.
Standar minimum tersebut meliputi tidak boleh menyiksa ataupun menyakiti mereka dengan alasan apapun. Untuk mencegah penyiksaan dan perbuatan menyakiti narapidana, maka penjara dan tempat-tempat tahanan harus terbuka bagai pemantau independen seperti Komisi Hak Asasi Manusia, Palang Merah Internasional, ataupun Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat.
Narapidana merupakan pelaku tindak pidana yang memiliki hak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan kasubsi perawatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu  mengungkapkan bahwa jumlah narapidana pada Lembaga Pemusyawaratan Klas II B Sekayu saat ini sudah melebihi kapasitas lapas tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari kelebihan kapasitas tersebut berujung pada pemenuhan hak  tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya.[5]
Menanggapi komentar tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Narapidana yang beranggapan bahwa keadaan saat ini memprihatinkan. Semestinya kelebihan kapasitas daya tampung tidak boleh berujung pada minimnya pemenuhan hak bagi narapidana. Jika kelebihan daya tampung tidak dapat teratasi semestinya anggaran untuk melakukan pemenuhan hak bagi narapidana ditambah sesuai dengan kelebihan daya tampung di lapas sehingga narapidana tidak menjadi korban atas adanya kelebihan daya tampung yang dimiliki lembaga pemasyarakatan tersebut.[6]
Menurut ketentuan Pasal 14, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, PP. No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelakasanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Serta PP No. 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan PP. No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adapun hak-hak utama yang harus diterima oleh seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, sebagai berikut :
1.      Hak untuk dapat melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan, bimbingan agama;
Terutama memberikan pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang salah.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Lysah Afrika, hak ini diberikan sebagai bentuk usaha yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu agar Narapidana dapat diteguhkan imannya yang di lakukan dengan cara-cara yang antara lain untuk Narapidana yang beragama Islam yaitu dengan cara mengadakan pengajian dan siraman rohani. Jadwal kegiatan tersebut dilakukan setiap hari Senin sampai dengan hari Jumats. Untuk Narapidana yang beragama Kristen dengan melakukan kebaktian yang jadwal kegiatannya adalah setiap hari. Sedangkan untuk yang beragama Hindu dan Budha juga dilakukan siraman rohani dengan mendatangkan rohaniawan dari Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten Muba setiap bulannya pada Minggu kedua.[7]
2.      Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Lysah Afrika, yang menjelaskan Hak ini diberikan dengan cara mengadakan kegiatan donor darah, pemeriksaan kesehatan tahanan/narapidana yang dilaksanakan 1 (satu) bulan sekali, mengadakan pertandingan olah raga, kegiatan senam dan lari pagi yang dilaksanakan di dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu.[8]
3.      Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dedi, bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada yang ditetapkan oleh pemerintah agar meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan.[9]
Sedangkan pendidikan non-formal berdasarkan hasil wawancara dengan Yulia, pendidikan tersebut diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan melalui kursus-kursus, latihan keterampilan dan sebagainya.
Bentuk pendidikan non-formal yang paling mudah dan paling murah adalah kegiatan-kegiatan ceramah umum dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh informasi dari luar, misalnya dengan membaca koran/majalah, buku-buku yang ada di perpustakaan, menonton TV, mendengarkan radio dan sebagainya. Untuk mengejar ketinggalan di bidang pendidikan baik formal maupun non-formal dengan mengupayakan melalui cara belajar program Kejar Paket A dan kerja usaha yang diasuh oleh pihak luar dalam hal ini pihak Dinas Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Muba.[10]
4.      Hak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
Hak ini menurut hasil wawancara diberikan kepada narapidana yang berstatus Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). WBP adalah narapidan yang memiliki masa hukuman yang lama serta berkelakukan baik akan tetapi masa hukumannya hampir habis. WBP tersebut diberikan kesempatan magang diluar ditempat-tempat yang telah ditunjuk oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu. Sehingga upah yang diterima oleh WBP tersebut adalah hasil dari kegiatan kerja mereka tersebut.[11]
5.      Hak untuk menyampaikan keluhan;
Sedangkan hak menyampaikan keluhan menurut hasil wawancara adalah dapat disampaikan apabila narapidana yang bersangkutan telah terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat LAPAS atau  sesama narapidana maupun petugas pemasyarakatan.[12]
6.      Hak untuk menerima kenjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
Berdasarkan hasil wawancara, bahwa hak untuk menerima kunjungan diberikan agar tahanan/narapidana tersebut tidak merasa dikucilkan dari lingkungannya.[13]
7.      Hak remisi istimewa;
Hak remisi istimewa diberikan bagi narapidana yang memiliki kelakuan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kunci Kurniawan Bin Azis yang intinya bahwa dia cukup merasa diuntungkan dengan diterapkannya hak remisi ini di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu. Dengan diterapkan hak tersebut Kunci Kurniawan Bin Azis dapat dengan cepat bebas sebelum masa hukumannya berakhir.[14]

Hak-hak yang disebutkan diatas mulai dari nomor 1 hingga nomor 3 menurut wawancara Kepala Lembaga Pemasyarakatan diberikan dan  dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai narapidana, dengan demikian pelaksanaanya dalam batas-batas yang diijinkan.[15]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.             Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dalam upaya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya kerusuhan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu telah diimplementasikan dengan baik.

B.     Saran
1.             Penegak hukum yang tergabung didalam sistem peradilan pidana terpadu agar selalu diadakan pertemuan secara berkala. Dimana pertemuan itu membicarakan masalah-masalah yang terjadi didalam pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini sangat penting agar penegakan hukum dan perlindungan bagi hak asasi tahanan dan narapidana dapat terlaksana dengan baik.
2.             Hal yang juga sangat penting adalah masalah koordinasi dan kerjasama antar penegakan hukum dan dijauhkan sifat-sifat ego sektoral dari masing-masing lembaga penegak hukum agar sistem peradilan pidana terpadu yang diharapkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dapat terlaksana.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Aswanto, 1999, Jaminan Perlindungan HAM dalam KUHAP dan Bantuan Hukum Terhadap Penegakan HAM di Indonesia, Disertasi, Makasar, Perpustakaan FH-Unair.
Dahlan, M.Y. Al-Barry, 2003, Kamus Induk Istilah Ilmiah Seri Intelectual¸ Surabaya, Target Press.
Ismail Ramadan, 2007, Kriminologi Studi tentang Sebab-Sebab Kejahatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir, 2008, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cet. Ke-14, Bina Aksara, Jakarta, 2005.
Naning Ramdlon, 1983, HAM di Indonesia, Jakarta, Lembaga Kriminologi UI Makalah.
Panjaitan dan Simorangkir, 1995, LAPAS dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar harapan.
Priyatno, Dwidja, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.
P.A.F Lamintang, Hukum Panitensier Indoensia, Armico, Bandung, 2004.
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bandung, 2005.
Romli Atmasasmita, Stategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 2002.
Soekento, Soerjono, 2008, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Widiada Gunakarya S.A, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarkatan, Armico, Bandung, 2008.
Lain-lain :
Http://www.google.com/www.ri.go.id/, Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Http://www.google.com/www.ri.go.id, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Harian Sriwijaya Post, Terbitan 23 Februari 2013
Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 9 Tahun III, 2002.
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintahan Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
            Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
 

[1]Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 98-99.
[2]Harian Sriwijaya Post, Terbitan 23 Februari 2013, hal. 1.
[3]Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana penjara di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hal.35.
[4]Ibid.
[5] Wawancara dengan Ina Sumpena Kasubsi Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 12 Februari 2014.
[6] Wawancara dengan warga binaan Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 13 Februari 2014.
[7]Wawancara dengan Ali Sodikin Staf Seksi Registrasi Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 14 Februari 2014.
[8]Wawancara dengan Ali Sodikin Staf Seksi Registrasi Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 14 Februari 2014.
[9] Wawancara dengan Dedi Avental Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik (BINADIK) Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 16 Februari 2014.
[10] Wawancara dengan Ali Sodikin Staf Seksi Registrasi Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 14 Februari 2014.
[11]Wawancara dengan Rudik Erminanto Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, tanggal 17 Februari 2014.
[12] Wawancara dengan Rudik Erminanto Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, tanggal 17 Februari 2014.
[13] Wawancara dengan Dedi Avental Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik (BINADIK) Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, pada tanggal 16 Februari 2014.
[14] Wawancara dengan Deni Mantan Narapidana Yang Bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, tanggal 18 Februari 2014.
[15]Wawancara dengan Rudik Erminanto Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Sekayu, tanggal 17 Februari 2014.

0 komentar:

Posting Komentar