Selasa, 28 Oktober 2014

POLITIK LUAR NEGERI



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.                Hubungan Bilateral
Dalam kerangka hubungan internasional, terdapat interaksi dan hubungan antar negara baik yang dilakukan oleh aktor-aktor negara maupun non-negara. Bilamana suatu negara berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya hanya dengan mengandalkan sumber daya sendiri, maka berhubungan dan bekerja sama dengan negara lain yang secara sumber daya sangat lebih, sangatlah penting manfaatnya dalam hal tukar menukar barang maupun jasa serta sumber daya dengan prinsip saling menopang satu sama lain. Hubungan yang dibangun terdiri dari berbagai bidang tergantung kebutuhan kedua negara bersangkutan. Misalnya, hubungan di bidang perpolitikan, perdagangan, kebudayaan, pendidikan dan pertahanan-keamanan.
Dalam interaksi antar negara terdapat hubungan pengaruh dan respon. Pengaruh dapat langsung ditujukan pada sasaran, tetapi dapat juga merupakan limpahan dari suatu tindakan tertentu. Apapun alasannya, negara yang menjadi sasaran pengaruh yang langsung maupun tidak langsung, harus menentukan sikap melalui respon, manifestasi dalam hubungan dengan negara lain untuk mempengaruhi atau memaksa pemerintah negara lainnya agar menerima keinginan politiknya.[1]
Bentuk-bentuk interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan interaksi, intensitas interaksi serta pola interaksi yang terbentuk. Dalam hubungan internasional, interaksi antar aktor dapat dikenali karena intensitas keberulangannya sehingga membentuk suatu pola tertentu. Secara umum bentuk reaksi dari suatu negara terhadap negara lain dapat berupa akomodasi (accommodate), mengabaikan (ignore), berpura-pura seolah-olah informasi/pesan dari negara lain belum diterima (pretend), mengulur-ngulur waktu (procastinate), menawar (bargain), dan menolak (resist) aksi dari negara lain.[2]
Bentuk-bentuk interaksi berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan hubungan antara lain dibedakan menjadi hubungan bilateral, trilateral, regional, dan multilateral internasional. Adapun yang dimaksud dengan hubungan bilateral adalah keadaan yang menggambarkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadinya hubungan timbal balik antar dua pihak. Pola-pola yang terbentuk dari proses interaksi, dilihat dari kecenderungan sikap dan tujuan pihak-pihak yang melakukan hubungan timbal balik tersebut dibedakan menjadi pola kerja sama, persaingan dan konflik.
Rangkaian pola hubungan aksi reaksi ini meliputi proses sebagai berikut.
1.      Rangsangan atau kebijakan aktual dari negara yang memprakarsai.
2.      Persepsi dari rangsangan tersebut oleh pembuat keputusan di negara penerima.
3.      Respon atau aksi balik dari negara penerima.
4.      Persepsi atau respon oleh pembuat keputusan dari negara pemrakarsa.
            Di tengah arus globalisasi yang berhasil mendobrak tabu kultural dan sekat geografis, sangat memungkinkan untuk terjadinya hubungan antar negara secara luas. Dalam hubungan tersebut, tidak hanya antara suatu negara dengan negara lain yang secara geografis berdekatan, tetapi juga dengan negara-negara lain yang berjauhan karena tingkat urgensitas kebutuhan yang memerlukan akses lintas negara. Apalagi kemajuan di bidang teknologi komunikasi, informasi dan transportasi di abad modern ini sangat pesat, sehingga hubungan yang dibangun menjadi lebih efektif, efisien dan produktif.
Dalam mempraksiskan hubungan bilateral, diperlukan saluran politik luar negeri sebagai instrumen politik untuk mencapai kepentingan negara yang bersangkutan. Bidang ekonomi merupakan salah satu sektor penting dalam konteks hubungan bilateral sebagai instrumen politik luar negeri. Realitas ketergantungan di bidang ekonomi berimplikasi terhadap keharusan adanya kerja sama ekonomi dalam kerangka hubungan perdagangan bilateral. Dalam hal ini, relasi antara ekonomi dan politik bisa dilihat dalam konteks kebijakan politik yang bisa mempengaruhi interaksi ekonomi maupun sebaliknya.
Instrumen perdagangan dalam politik luar negeri yang biasanya dilakukan dengan tiga maksud, yaitu: a. Mencapai sasaran luar negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan ancaman menerapkan sanksi ekonomi; b. Meningkatkan kapabilitas negara, atau meniadakan potensi kapabilitas negara lawan; dan c. Menciptakan satelit ekonomi (yaitu, dengan jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu mempertahankan ketaatan politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang pengaruh” dengan membentuk hubungan ketergantungan ekonomi.
Dalam konteks hubungan perdagangan bilateral, suatu negara berbasis pada keunggulan komparatif yang dimiliki. Seorang Ilmuwan yang melakukan studi seperti itu, yaitu I.J. Becket melaporkan sebagai berikut:
“Tidak diragukan lagi bahwa teori paling lama mengenai perdagangan internasional adalah mengenai keunggulan komparatif (comparative advantage) yang pertama kali diajukan oleh David Ricardo pada awal abad 19. Melalui demonstrasi aritmetik yang jelas, Ricardo menunjukkan bahwa walaupun satu negara bisa memproduksi barang-barang dengan lebih ekonomis (dalam pengetian waktu kerja) daripada barang-barang negara lain, masih ada kemungkinan untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kalau negara yang kalah unggul (disadvantaged) mempertukarkan barang dimana ia memiliki keunggulan komparatif…”[3]

Berkaitan dengan hal itu juga, J.S.Mill beranggapan bahwa suatu negara akan mengkhususkan diri pada ekspor barang tertentu bila negara itu memiliki keunggulan komparatif terbesar dan akan impor barang tertentu bila negara tersebut memiliki kerugian komparatif atau keunggulan komparatif terendah.[4]Di dalam perdagangan internasional, dikatakan bahwa suatu negara melakukan perdagangan internasional lebih disebabkan oleh adanya comparative advantage. David Ricardo melalui teori comparative advantage menjelaskan bahwa kedua negara akan melakukan melakukan perdagangan dengan memproduksi barang yang paling efisien diproduksi oleh negara tersebut. Dalam tataran praktis, perdagangan internasional sering dikaitkan dengan kegiatan ekspor dan impor. Dalam perdagangan internasional biasanya sering dihadapkan oleh berbagai kendala seperti tarif, kuota, dan jenis hambatan lainnya. Dari pemikiran David Ricardo dan J.S. Mill tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk suatu negara yang akan dipasarkan harus memiliki diferensiasi, spesialisasi dan keunikan tertentu yang tidak dimiliki negara lain. Dengan demikian, diharapkan brand image produk tersebut bisa menjadi alat untuk menaikkan posisi tawar dalam proses transaksi perdagangan bilateral yang berorientasi pada keuntungan yang signifikan.     
Hubungan antar negara-negara diatur oleh sifat dari negara-negara itu sendiri maupun oleh masyarakat internasional.[5] Dalam hal ini, negara sebagai organisasi formal suatu bangsa memiliki otoritas untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain sesuai aturan hukum dan kultur politik suatu negara. Negara sebagai bagian dari masyarakat internasional, dalam hal penyelenggaraan hubungan antar negara harus memperhatikan tata krama politik internasional.
Dalam interaksi antar negara-negara tidak terdapat pemisahan yang jelas antar sahabat dan musuh, antara bujukan dan paksaan. Dalam banyak hal, hubungan mencakup unsur-unsur yang beragam-ragam bahkan yang bertentangan-ancaman pemakaian sekali-sekali menyelinap ke hubungan yang sangat bersahabat sekalipun, dan bahkan dua lawan ideologi yang bernafsu bisa berkompromi dalam hal perdagangan.[6] Dalam hubungan antar negara, kadang-kadang kepentingan pragmatis melampau hal-hal yang normatif bahkan ideologis. Tetapi tidak berarti bahwa negara harus bertindak di luar norma yang ada. Fleksibelitas dalam memaknai norma suatu negara menjadi penting, agar kepentingan bangsa dan negara dalam berhubungan dengan negara lain tercapai.
Garis pemisah antara urusan-urusan dalam negeri dan urusan-urusan luar negeri makin lama makin kabur, dan hubungan internasional dapat terpengaruh oleh, yang menurut bentuk sebenarnya, benar-benar urusan domestik, seperti politik ekonomi, bila dilaksanakan oleh negara-negara berkekuasaan besar, dapat menghalangi perdagangan atau aliran uang negara-negara kecil yang tergantung pada perdagangan tersebut. Namun bukan tidak realistis untuk berkosentrasi pada bentuk interaksi langsung antar negara untuk alasan yang sederhana bahwa hal-hal dalam negeri dengan komponen internasional yang cukup kuat cenderung akan segera dibahas secara internasional.[7]
Hubungan antar negara memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam memperluas jaringan dengan berbagai negara-negara terkait dalam struktur internasional. Independensi suatu negara sangat penting, tetapi tidak berarti harus mengisolasi dan memarjinalkan diri dari pergaulan internasional. Jika suatu negara dihadapkan dengan masalah domestiknya, maka secara otomatis negara yang bersangkutan membutuhkan bantuan dan dukungan dari negara-negara lain melalui instrumen hubungan bilateral maupun diplomasi di tingkat forum-forum internasional.
Realisasi hubungan bilateral dalam konteks politik negara diwujudkan melalui saluran hubungan diplomatik sebagai bentuk hubungan formal antar kedua negara. Hubungan diplomatik merupakan salah satu cara yang digunakan dalam hubungan internasional dengan memakai metode diplomasi atau negosiasi.[8] Bagi negara manapun tujuan utama diplomasinya adalah pengamanan kebebasan politik dan integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara-negara yang sehaluan dan menetralisisr negara yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina dan sahabat-sahabat baru diperoleh melalui negosiasi yang bermanfaat. Ini akan lebih mudah apabila terdapat kesamaan kepentingan.[9]
          Bilateralisme mengacu pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua negara. Sampai saat ini, kebanyakan diplomasi internasional dilakukan secara bilateral.[10] Sesuai dengan perkembangan negara-negara dan bertambahnya jumlah negara-negara yang merdeka sekarang ini, maka diperlukan perwakilan diplomatik yang permanen dan merupakan suatu hal yang biasa dalam hubungan internasional. Perwakilan diplomatik merupakan representasi pemerintah suatu negara di luar negeri yang sudah menjalin hubungan diplomatik.
          Selanjutnya ternyata ada kaitan yang erat antara pembukaan hubungan diplomatik dengan suatu negara dan pengakuan terhadap negara tersebut atau pemerintahnya. Karena hukum internasional tidak berisikan kewajiban hukum untuk mengakui suatu negara, maka negara tersebut tidak dapat dipaksa untuk menerima wakil-wakil dari negara yang tidak diakuinya. Penolakan suatu negara untuk menolak hubungan diplomatik dengan alasan apapun terhadap negara lain merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam praktek.[11]
          Misalnya dalam kasus hubungan unik antara Indonesia-Israel. Kita menyadari baik secara de facta maupun de jure Indonesia tidak pernah mengakui eksistensi negeri Zionis Israel tersebut. Oleh karena itu secara resmi Indonesia tidak pernah bersedia berhubungan langsung dengan Israel. Sebabnya jelas antara kedua negara tidak saling mengakui. Pada era pemerintahan Gus Dur (2000-2001), pernah dicobakan untuk membuka hubungan resmi dengan Israel. Tetapi rakyat Indonesia, bukannya mau menerima, tetapi justru marah karena sikap buruk Zionis terhadap rakyat dan pemerintah Palestinalah yang menjadi tolak ukur bersedia tidaknya rakyat Indonesia yang sebagian besar Muslim bersahabat dengan negara Zionis tersebut. Meskipun demikian, dalam praktek hubungan internasional,  dalam berbagai forum dunia terutama yang bukan bersifat politis, terlalu sering wakil/delegasi Indonesia berhubungan dengan wakil-wakil dari Israel, misalnya dalam arena Olahraga tingkat olimpiade di Athena, Korea, Jepang, dan lain-lain arena, termasuk hubungan perdagangan melalui negara ketiga.[12]
B.       Politik Luar Negeri
Secara umum politik luar negeri merupakan seperangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.[13] Politik luar negeri telah mempunyai beberapa definisi antara lain sebagai pengejewantahan kepentingan nasional suatu negara terhadap negara lain.[14] Kepentingan nasional merupakan keseluruhan nilai yang hendak diperjuangkan atau dipertahankan di forum internasional. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa kepentingan nasional merupakan kunci dalam politik luar negeri.
Politik luar negeri (foreign policy) merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.[15] Menurut Couloumbus dan Wolfe, sebagaimana dikutip oleh R. Soeprapto bahwa politik luar negeri merupakan sintesis dan tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas. Politik luar negeri pelaksanaannya dilakukan oleh aparat pemerintah. Oleh karena itu, aparat pemerintah mempunyai pengaruh terhadap politik luar negeri. Di samping aparat pemerintah, kekuatan sosial politik yang lebih dikenal dengan pressure groups ikut berpengaruh pula.[16]
Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.[17] Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai explicit and implicit actions of governmental officials designed to promote national interests beyond a country’s territorial boundaries.[18]Dalam definisi ini ada tiga tekanan utama yaitu tindakan atau kebijakan pemerintah, pencapaian kepentingan nasional dan jangkauan kebijakan luar negeri yang melewati batas suatu negara.
Menurut Howard Lentner, pengertian kebijakan luar negeri harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan yaitu penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection of objectives), pengerahan sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan tersebut (mobilization of means) dan pelaksanaan (implementation) kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan sumber daya yang sudah ditetapkan.[19]
Suatu negara lazimnya berusaha mewujudkan tujuan nasionalnya melalui formulasi kebijaksanaan politik luar negeri. Dalam hal ini Holsti berpendapat bahwa: Kebijakan, sikap atau tindakan suatu negara merupakan output politik luar negeri dengan berlandaskan pemikiran, serta pola tindakan yang disusun oleh para pembuat keputusan untuk (1) menanggulangi permasalahan, (2) mengusahakan perubahan dalam lingkungan internasional.[20]
            Tujuan politik luar negeri adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional. Tujuan tersebut memuat gambaran atau keadaan negara di masa mendatang dan kondisi masa depan yang diinginkan. Pemerintah negara menetapkan berbagai sarana yang diusahakan untuk dicapai dengan melakukan berbagai tindakan yang menunjukkan adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan.[21]
            Sementara Plano berpendapat bahwa setiap kebijakan luar negeri dirancang untuk menjangkau kepentingan nasional. Tujuan nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi  internasional yang sedang berlangsung serta power yang dimiliki untuk menjangkaunya. Tujuan dirancang, ditetapkan, dan dipilih oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk mengubah kebijakan (revisionist policy) atau mempertahankan kebijakan (status quo policy) ikhwal negara tertentu di lingkungan internasional.[22]
Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu:


1.  Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan.
2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah     ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan jangka pendek (short-term), jangka menengah (middle-term), dan jangka panjang (long-term).
3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.[23]
Pelaksanaan politik luar negeri didahului oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan oleh pemerintah dan instansi terkait baik dalam kapasitas sebagai konseptor maupun eksekutor kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah juga harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai faktor internal seperti aspirasi konstituen domestik, elemen masyarakat sipil (civil society), dan faktor-fator internasional sebagai faktor eksternal seperti peta kepentingan-kepentingan kekuatan internasional. Di samping itu, dalam pelaksanaan politik luar negeri harus dipilih teknik atau instrumen yang cocok untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan yang disesuaikan dengan kekuatan nasional (national power).
Adapun organisasi pelaksana politik luar negeri merupakan wadah dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh para pelaksana politik luar negeri. Menurut Dr. Budiono sebagaimana dikutip oleh R. Soeprapto, organisasi tersebut  pada umumnya terdiri dari:
a)       Pimpinan Tertinggi Eksekutif: tergantung kepada sistem pemerintahan dari negara bersangkutan, bisa dipegang seorang Presiden seperti di Indonesia dan Amerika Serikat, bisa seorang Perdana Menteri seperti Malaysia dan Jepang), bisa juga Polit-Biro seperti layaknya di negara-negara komunis Kuba dan Vietnam);
b)      Di bawah Pimpinan Tertinggi Eksekutif adalah para pejabat tinggi di bidang politik luar negeri seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Perdagangan dan Kepala Dinas Intelejen;
c)      Lembaga-lembaga negara seperti Parlemen dengan Komisi Luar Negerinya dan berbagai Departemen yang tugasnya meliputi bidang politik luar negeri atau yang berhubungan erat dengannya.[24]
Dalam pelaksanaan politik luar negeri untuk mencapai yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya, pemerintah dihadapkan dengan beberapa alternatif pemilihan instrumen. Instrumen-instrumen tersebut ada yang legal dan ada yang ilegal. Instrumen yang legal bersifat kooperatif, keabsahannya diakui dan sering digunakan, misalnya diplomasi, sedangkan yang ilegal tidak bisa diterima oleh pihak lain dan biasanya dipergunakan dalam kondisi yang memperlihatkan adanya oposisi, misalnya subversi. Tetapi perlu diperhatikan sekalipun hubungan antar negara dalam situasi konflik dan diwarnai oleh sikap kooperatif, namun sepanjang masih ada kemauan untuk mencapai kesepakatan maka instrumen yang legal masih bisa dipakai.[25]
Dalam hal formulasi dan implementasi kebijakan politik luar negeri, pemerintah harus melihat peluang dan kendala baik secara internal maupun eksternal. Hal yang lebih penting juga adalah mengukur kekuatan nasional yang ada dan membangun hubungan secara lebih luas dengan negara-negara yang memiliki akses ekonomi-politik yang kuat untuk dimanfaatkan bagi kepentingan nasional negara tersebut. Politik luar negeri sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional yang berlandaskan pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara merupakan saluran untuk terlibat secara pro-aktif dalam proses-proses yang terjadi di lingkungan internasional.
C.       Kepentingan Nasional Dan Tujuan Negara
1.             Kepentingan Nasional  
          Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik luar negeri. Sepanjang mengenai kepentingan nasional orang bisa berorientasi kepada ideologi atau berorientasi kepada sistem nilai sebagai pedoman perilaku. Artinya bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan-pertimbangan kepentingan atau gabungan antara kedua pertimbangan tersebut. Bisa juga kadang-kadang terjadi interplay antara ideologi dengan kepentingan sehingga terjadi suatu hubungan timbal balik dan terjadi saling mempengaruhi antara pertimbangan-pertimbangan ideologis dengan pertimbangan-pertimbangan kepentingan yang tidak menutup kemungkinan terjadi formulasi yang lain atau baru.[26]   
       Miroslav Nincic memperkenalkan tiga kriteria atau yang disebutnya asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Pertama, kepentingan harus bersifat vital sehingga pencapaiannya harus menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan tersebut harus berkaitan dengan lingkungan  internasional Artinya pencapaian kepentingan nasional harus dipengaruhi oleh lingkungan internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau lembaga  pemerintahan. Sehingga menjadi kepedulian masyarakat secara keseluruhan.[27]
     Paul Seabury mengemukakan pendapatnya tentang konsep kepentingan nasional. Menurutnya:
Istilah kepentingan nasional berkaitan dengan beberapa kumpulan cita-cita tujuan suatu bangsa ... yang berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain. Dengan kata lain, gejala tersebut merupakan suatu normatif, atau konsep umum kepentingan nasional ... Arti kedua yang sama pentingnya biasa bersifat deskriptif. Dalam pengertian deskriptif, kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah. Kepentingan nasional dalam pengertian deskriptif, berarti memindahkan metafisika ke dalam fakta (kenyataan) ... dengan kata lain kepentingan nasional serupa dengan para perumus politik luar negeri...[28]

          Di sini terlihat bahwa untuk mencapai kepentingan nasional perlu adanya strategi tertentu dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Strategi kebijakan luar negeri dirumuskan dengan memperhitungkan berbagai aspek. Seperti kekuatan nasional serta peluang dan kendala yang mungkin muncul. Jalinan hubungan luar negeri suatu negara harus bersandar pada potensi nyata yang dimiliki, serta kondisi dalam negara tersebut.
          Kalau kita menggunakan pendekatan realis atau neorealis maka kepentingan nasional diartikan sebagai kepentingan negara yang penekanannya pada peningkatan kekuasaan nasional untuk mempertahankan keamanan nasional dari negara tersebut. Kepentingan nasional lainnya seperti pembangunan ekonomi disubordinasikan sebagai elemen dari kekuatan nasional. Kepentingan nasional merupakan hal yang sangat urgen bagi suatu negara karena terkait dengan survival dan eksistensinya di tengah dunia internasional. Urgensitas kepentingan nasional bisa dilihat dari pentingnya mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah dari intervensi asing dan juga ancaman disintegrasi. Negara dalam hal ini harus memainkan peran yang penting untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya dalam pergaulan internasional.
          Dalam mewujudkan kepentingan nasional, suatu negara hendaknya membuat skala prioritas agar agenda-agenda yang dimaksud berjalan secara terarah. Dilihat dari skala prioritasnya, kita bisa mengklasifikasi urutan-urutannya dari yang bersifat primer sampai sekunder. Kepentingan nasional yang bersifat primer misalnya dalam hal mempertahankan eksistensi suatu negara, meneguhkan nilai-nilai fundamental yang menjadi identitas dalam konteks kebijakan luar negerinya. Sedangkan, kepentingan yang bersifat sekunder biasanya terkait dengan aktivitas kultural. Walaupun tidak terkait dengan eksistensi negara secara langsung, namun tetaplah penting untuk diperjuangkan sebagai pelengkap kuatnya fondasi kebangsaan. Misalnya, kontestasi budaya, pengiriman duta pariwisata, kerjasama di bidang keilmuan, pertukaran mahasiswa dan pemuda, olahraga, dan lain-lain.
2.        Tujuan Negara
Negara (state) adalah suatu konsep hukum menggambarkan kelompok sosial yang menempati wilayah tertentu dan diatur oleh lembaga politik bersama serta memiliki sebuah pemerintah yang efektif. Beberapa pengamat menambahkan kualifikasi bahwa kelompok masyarakat tersebut harus memiliki kehendak untuk menerima kewajiban hukum internasional dalam hidup bernegara. Negara secara hukum diakui keberadaannya manakala diakui oleh negara anggota masyarakat internasional.[29]
Negara merupakan unit utama politik dan masyarakat hukum internasional. Negara timbul dengan runtuhnya kekuasaan feodal di Eropa, dan negara berada dalam hubungan dengan negara lain. Sebagai unit politik berdaulat, negara memiliki hak untuk menetapkan tujuan nasionalnya serta menentukan teknik untuk mencapainya. Namun kebebasan bertindak negara dibatasi oleh hukum dan organisasi internasional, serta oleh hubungan antar negara kuat dan situasi informal yang menandai lingkungan internasional pada waktu tertentu.[30]
             Ciri utama negara modern adalah bahwa negara mempunyai wilayah yang jelas, sebuah pemerintahan yang diberi otoritas kedaulatan serta pelaksanaan kekuasaan terhadap rakyat. Beberapa komentator menambahkan ciri keempat: pengakuan. Pengakuan berarti bahwa klaim negara terhadap wilayah tertentu dan haknya untuk menjalankan kedaulatan terhadap rakyatnya diakui oleh negara-negara lain. Pengakuan bisa dalam berbagai bentuk, tetapi umumnya pengakuan mencakup pembukaan hubungan diplomasi atau keikutsertaan dalam berbagai perjanjian dengan negara lain.[31]
            Secara internasional, negara bukan hanya pemerintah : negara adalah wilayah yang berpenduduk dengan pemerintahan nasional masyarakat. Dengan kata lain, negara (state) adalah negeri (country). Dari sudut tersebut, baik pemerintah maupun masyarakat domestik membentuk negara. Jika suatu suatu negeri adalah negara berdaulat, secara umum ia akan diakui merdeka secara politik. Hal itu merupakan aspek eksternal negara dalam konteks hubungan antar negara (interstate relation).[32]
            Hal itu membawa kita ke dimensi kedua dari negara, yang membagi aspek eksternal kenegaraan berkedaulatan ke dalam dua kategori besar. Kategori pertama adalah  negara dipandang sebagai institusi legal atau formal dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Yakni, negara sebagai entitas yang diakui berdaulat atau merdeka, memperoleh keanggotaan dalam organisasi-organisasi internasional, dan memiliki berbagai macam hak dan kewajiban internasional. Kategori kedua adalah negara dipandang sebagai organisasi politik-ekonomi yang penting (substansial). Kategori ini berkaitan dengan perluasan di mana negara telah mengembangkan institusi-institusi politik yang efisien, berdasar ekonomi yang kokoh, dan tingkat persatuan nasional yang kokoh, yaitu persatuan umum dan dukungan bagi negara.[33]
            Di dunia internasional, negara-negara yang ada memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam banyak hal, yaitu legitimasi institusi politiknya, organisasi pemerintahnnya, produktifitas dan kekayaan ekonominya, status dan pengaruh politiknya, dan persatuan nasionalnya. Berdasarkan realitas perbedaan tersebut, maka negara-negara tersebut bekerja sama demi memperoleh keuntungan timbal balik sesuai kepentingan nasional masing-masing. Biasanya negara-negara tersebut menjalankan hubungan diplomatik, hubungan dagang dan investasi, kerja sama di bidang pengetahuan, pariwisata dan sebagainya. Negara sebagai entitas politik formal memiliki peran dan aktivitas yang signifikan di lingkungan internasional yang berbasis pada tujuan nasionalnya.
            Menurut Toma dan Gorman, factor pendukung utama untuk kontinyuiti hubungan inernasional adalah aktor negara bangsa (nation-state) yang dengan atribut kedaulatan dan penggunaan power untuk meraih kepentingan nasional berupaya untuk mempertahankan perannya sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Sedangkan, pendukung chance adalah globalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, ancaman terhadap lingkungan hidup, peningkatan power dan influence dari aktor non-negara. Hubungan internasional kontemporer yang sekarang kita saksikan menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan chance tersebut sedang berupaya memporak-porandakan landasan tradisional tata hubungan internasional.[34]


D.   Perspektif Ekonomi  Politik   
          Metode pendekatan ekonomi politik dapat diaplikasikan kepada berbagai disiplin ilmu yang suplementif dan komplementatif, juga terhadap prisma lainnya dari studi ini dalam berbagai aspek, seperti misalnya: public policies yang berorientasi kepada parameter cost and benefit, yang disebabkan adanya kebijakan-kebijakan tertentu, atau juga adanya struktur tertentu daripada pembuat kebijakan keputusan Studi Ekonomi Politik yang hirau terhadap the economics public policy sebagaimana yang dideskripsikan Robert Gilpin (1987): “Siapa yang diuntungkan, siapa yag dirugikan dan bagaimana pula prosesnya.”[35]
            Sebagaimana Martin Staniland menyebutkan, bagaimana politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana institusi-institusi ekonomi menentukan proses-proses politik. Kedua bidang (Ekonomi Politik) dimaksud, secara explanatory dan normative sesungguhnya saling komplementasi, tergantung pada keperluan mana ia ditempatkan. Ia berhubungan satu dengan yang lainnya dalam upaya menjelaskan bagaimana hubungan antara bidang ekonomi dan bidang politik berproses serta dapat berkaitan melalui pengaruh yang bersifat timbal balik. Misalnya pada filsafat dasar kausalitas; mana yang sebab dan mana yang akibat. Sisi yang paling dominan akan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang berlaku, bisa saja proses politik lebih dominan dibanding aspek-aspek ekonomi, atau sebaliknya.
            Studi hubungan internasional kontemporer mengakui keterkaitan mutlak antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa perilaku internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik, dan tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang bersangkutan. Itu sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli mulai menelaah konsep ekonomi politik global sebagai sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang fundamentalis.[36]
 Suatu negara bisa mengabaikan motif keuntungan dan menggunakan kebutuhan ekonomi negara lain untuk memperluas pengaruh politiknya, baik melalui perdagangan yang dilakukan langsung dari pemerintah maupun swasta. Holsti (1995), dalam bukunya International Politics: A Framework for Analysis, membuat suatu kerangka analisis instrumen perdagangan dalam politik luar negeri yang biasanya dilakukan dengan tiga maksud, yaitu : a. Mencapai sasaran luar negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan ancaman menerapkan sanksi ekonomi; b. Meningkatkan kapabilitas negara, atau meniadakan potensi kapabilitas negara lawan; dan c. Menciptakan satelit ekonomi (yaitu, dengan jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu mempertahankan ketaatan politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang pengaruh” dengan membentuk hubungan ketergantungan ekonomi.[37]
            Secara empirik, tingkat saling ketergantungan (interdependensi) dalam masyarakat internasional yang semakin tinggi sebagai akibat proses transnasionalisme dalam ekonomi yang melewati batas-batas negara, seperti peningkatan perdagangan, keanggotaan kelompok-kelompok ekonomi regional, dan proses globalisasi, telah menjadikan kondisi, dimana tidak ada lagi suatu kebijakan ekonomi politik nasional yang benar-benar bersifat domestik.[38]Hal ini menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik pada level kebijakan tidak hanya berdimensi domestik, tetapi juga berimplikasi pada negara lainnya dan masalah-masalah internasional secara lebih luas. Dalam konteks ini, munculnya pendekatan ekonomi politik internasional dalam studi hubungan internasional bisa dikatakan sebagai konsekuensi dari kompleksitas masalah internasional yang memiliki keterkaitan dengan masalah domestik.
            Versi internasionalisasi dari perspektif ekonomi politik yang dikonsepsionalisasikan dengan istilah ekonomi politik internasional merupakan pendekatan baru yang berkembang pasca perang dingin sebagai akibat dari trend pergeseran isu hubungan internasional dari isu keamanan ke isu ekonomi yang menekankan hubungan antara ekonomi dan politik. Pada sekitar tahun 1970-an bermunculan banyak negara-negara baru sebagai akibat dari dekolonisasi, dimana negara-negara yang baru merdeka tersebut berada pada posisi subordinat secara politik dan ekonomis dalam sistem internasional. Negara-negara baru yang termarjinalkan secara politis dan ekonomis tersebut tampil dalam forum internasional seperti PBB berupa tuntutan ekonomi. Fenomena tersebut juga sebagai salah satu pendorong berkembangnya pendekatan ekonomi politik internasional.
          Menurut Frieden dan Lake, ekonomi politik internasional diartikan sebagai the study of interplay of economics and politics in the word arena.[39]  Ekonomi di sini didefinisikan sebagai sistem produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan. Sedangkan, politik diartikan sebagai sehimpun lembaga dan aturan yang mengatur berbagai interaksi sosial dan ekonomi.
          Sedangkan, menurut Gilpin, sebagaimana dikutip oleh Mohtar Mas'oed, mengemukakan bahwa ekonomi politik internasional adalah interaksi timbal balik dan dinamis antara upaya pengejaran kekayaan dan kekuasaan dalam hubungan internasional.[40] Di sini Gilpin menekankan pada aspek kekuasaan dalam konsep ekonomi politik internasional. Selain itu, pandangan Gilpin di atas juga memperlihatkan bahwa pendekatan ekonomi politik internasional mengakui keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam hubungan internasional.
          Dalam konteks prospek hubungan bilateral Indonesia-Israel dalam perspektif ekonomi-politik, dapat dijelaskan mengenai segi-segi kepentingan Indonesia terhadap Israel maupun sebaliknya dalam hal upaya pengejaran kekayaan (ekonomi) dan kekuasaan (politik) yang memiliki saling keterkaitan dalam konstelasi hubungan internasional. Kepentingan ekonomi Indonesia dalam arti pemenuhan kebutuhan ekonomi nasionalnya melalui kerja sama ekonomi dengan negara lain, termasuk dengan Israel yang bisa dikatakan unggul dalam sektor teknologi tinggi (high-tech). Begitu juga dengan kepentingan politik Indonesia pada level kekuasaan yang ingin dicapai adalah untuk menciptakan ruang pengaruh terhadap Israel, dimana kepentingan politik Indonesia berorientasi pada upaya keterlibatan dalam berbagai kepentingan-kepentingan strategis di Timur Tengah dan dunia internasional secara umum.
          Interaksi timbal balik dan dinamis dalam konteks ini merupakan keterkaitan antara upaya-upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan keinginan memperoleh kekuasaan. Kedua elemen ini, yaitu ekonomi dan kekuasaan, akan saling mendukung dalam hal pembangunan nasional. Keunggulan ekonomi dapat digunakan untuk meraih kekuasaan, dan demikian pula sebaliknya, kekuasaan adalah alat yang efektif dalam upaya membangun perekonomian.
     Dalam kaitan ini, Jones mengemukakan bahwa:
“Studi hubungan internasional kontemporer mengakui keterkaitan mutlak antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa perilaku internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik dan tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang bersangkutan. Itu sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli mulai menelaah konsep ekonomi politik global sebagai. salah satu unsur hubungan internasional yang fundamentalis”.[41]

          Kutipan di atas memaparkan bahwa dewasa ini telaah terhadap konsep ekonomi politik oleh para ahli semakin berkembang. Dimana konsep tersebut telah dianggap sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang fundamental. Hal ini dikarenakan politik dan ekonomi merupakan dua elemen yang saling berkait dan sulit dipisahkan dalam studi hubungan internasional. Di samping itu, perilaku internasional suatu negara dilatarbelakangi oleh tiga hal, yaitu kondisi politik dalam negeri, dorongan ekonomi, dan tujuan internasional dari elit ekonomi negara tersebut.




[1] Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Op.Cit, hal. 41
[2] Ibid, hal. 42
[3] Mohtar Mas’oed, Op.cit, hal. 11-12
[4] Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hal.57
[5] J. Frankel, Hubungan Internasional, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hal. 89
[6] Ibid, hal. 120
[7] Ibid, hal. 120
[8] M. Tasrief, Hukum Diplomatik (Teori dan Prakteknya), Surabaya: CV. Al-Ihsan, 1988, hal. 14
[9] S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hal. 6
[10] Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 85
[11] Syahmin, Ak, Op.cit, hal. 47
[12] Ibid, hal. 46
[13] Anak Agung Banyu Parwita dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit, hal. 47
[14] S.L. Roy, op.cit. hal. 31
[15] Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, Jakarta: Putra A Bardin, 1999, hal. 5
[16] R Soeprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan  Perilaku, Jakarta: Rajawali Pers, 1997, hal. 187-188
[17] Anak Agung Banyu Perwita, op.cit, hal. 49
[18] Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 64
[19] Ibid, hal. 65
[20] K.J. Holsti, Op.cit, hal. 131
[21] R. Soeprapto,  op.cit., hal. 188
[22]Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, op.cit., hal: 51
[23] Ibid, hal. 51-52
[24] R. Soeprapto, op.cit., hal. 202-203
[25] Ibid, hal. 206
[26] R. Soeprapto, op.cit., hal. 149-150
[27] Aleksius Jemadu, op.cit., hal. 67
[28] Sebagaimana dikutip oleh K.J. Holsti dalam Politik Internasional Suatu Kerangka Analisis, diterjemahkan oleh Wawan Juanda, (Bandung : Binacipta, 1987), hal. 168-169.
[29] Jack C. Plano dan Roy Olton, Op.cit, hal. 245
[30] Ibid, hal. 245
[31] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional, Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 59-60
[32] Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 29
[33] Ibid, hal. 29-31
[34] PACIS, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internsional, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 85
[35] Yanuar Ikbar, Op.cit, hal. 2
[36] Walter, S. Jones, Op.cit, hal. 248
[37] K.J. Holsti, Op.cit, hal. 303
[38] , Anak Agung Banyu Perwita, dan Yanyan Mochamad Yani, , Op.cit., hal.77
[39] Mohtar Mas’oed, Op.cit, hal. 3.
[40] Ibid, hal. 3.
[41] Walter S. Jones, Op.cit, hal. 248.

0 komentar:

Posting Komentar