BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hubungan
Bilateral
Dalam
kerangka hubungan internasional, terdapat interaksi dan hubungan antar negara
baik yang dilakukan oleh aktor-aktor negara maupun non-negara. Bilamana suatu
negara berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya
hanya dengan mengandalkan sumber daya sendiri, maka berhubungan dan bekerja
sama dengan negara lain yang secara sumber daya sangat lebih, sangatlah penting
manfaatnya dalam hal tukar menukar barang maupun jasa serta sumber daya dengan
prinsip saling menopang satu sama lain. Hubungan yang dibangun terdiri dari
berbagai bidang tergantung kebutuhan kedua negara bersangkutan. Misalnya, hubungan
di bidang perpolitikan, perdagangan, kebudayaan, pendidikan dan pertahanan-keamanan.
Dalam
interaksi antar negara terdapat hubungan pengaruh dan respon. Pengaruh dapat langsung
ditujukan pada sasaran, tetapi dapat juga merupakan limpahan dari suatu
tindakan tertentu. Apapun alasannya, negara yang menjadi sasaran pengaruh yang
langsung maupun tidak langsung, harus menentukan sikap melalui respon,
manifestasi dalam hubungan dengan negara lain untuk mempengaruhi atau memaksa
pemerintah negara lainnya agar menerima keinginan politiknya.[1]
Bentuk-bentuk
interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan interaksi,
intensitas interaksi serta pola interaksi yang terbentuk. Dalam hubungan
internasional, interaksi antar aktor dapat dikenali karena intensitas keberulangannya
sehingga membentuk suatu pola tertentu. Secara umum bentuk reaksi dari suatu
negara terhadap negara lain dapat berupa akomodasi (accommodate), mengabaikan (ignore),
berpura-pura seolah-olah informasi/pesan dari negara lain belum diterima (pretend), mengulur-ngulur waktu (procastinate), menawar (bargain), dan menolak (resist) aksi dari negara lain.[2]
Bentuk-bentuk
interaksi berdasarkan banyaknya pihak yang melakukan hubungan antara lain
dibedakan menjadi hubungan bilateral, trilateral, regional, dan multilateral
internasional. Adapun yang dimaksud dengan hubungan bilateral adalah keadaan
yang menggambarkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadinya
hubungan timbal balik antar dua pihak. Pola-pola yang terbentuk dari proses
interaksi, dilihat dari kecenderungan sikap dan tujuan pihak-pihak yang
melakukan hubungan timbal balik tersebut dibedakan menjadi pola kerja sama,
persaingan dan konflik.
Rangkaian
pola hubungan aksi reaksi ini meliputi proses sebagai berikut.
1. Rangsangan
atau kebijakan aktual dari negara yang memprakarsai.
2. Persepsi
dari rangsangan tersebut oleh pembuat keputusan di negara penerima.
3. Respon
atau aksi balik dari negara penerima.
4. Persepsi
atau respon oleh pembuat keputusan dari negara pemrakarsa.
Di tengah arus globalisasi yang berhasil
mendobrak tabu kultural dan sekat geografis, sangat memungkinkan untuk
terjadinya hubungan antar negara secara luas. Dalam hubungan tersebut, tidak
hanya antara suatu negara dengan negara lain yang secara geografis berdekatan,
tetapi juga dengan negara-negara lain yang berjauhan karena tingkat urgensitas
kebutuhan yang memerlukan akses lintas negara. Apalagi kemajuan di bidang
teknologi komunikasi, informasi dan transportasi di abad modern ini sangat
pesat, sehingga hubungan yang dibangun menjadi lebih efektif, efisien dan
produktif.
Dalam
mempraksiskan hubungan bilateral, diperlukan saluran politik luar negeri
sebagai instrumen politik untuk mencapai kepentingan negara yang bersangkutan.
Bidang ekonomi merupakan salah satu sektor penting dalam konteks hubungan
bilateral sebagai instrumen politik luar negeri. Realitas ketergantungan di
bidang ekonomi berimplikasi terhadap keharusan adanya kerja sama ekonomi dalam
kerangka hubungan perdagangan bilateral. Dalam hal ini, relasi antara ekonomi
dan politik bisa dilihat dalam konteks kebijakan politik yang bisa mempengaruhi
interaksi ekonomi maupun sebaliknya.
Instrumen perdagangan dalam politik luar negeri yang biasanya
dilakukan dengan tiga maksud, yaitu: a. Mencapai
sasaran luar negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi
dan mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan ancaman menerapkan sanksi
ekonomi; b. Meningkatkan kapabilitas negara, atau meniadakan potensi
kapabilitas negara lawan; dan c. Menciptakan satelit ekonomi (yaitu, dengan
jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu mempertahankan ketaatan
politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang pengaruh” dengan
membentuk hubungan ketergantungan ekonomi.
Dalam konteks hubungan perdagangan bilateral, suatu negara
berbasis pada keunggulan komparatif yang dimiliki.
Seorang Ilmuwan yang melakukan studi seperti itu, yaitu I.J. Becket melaporkan sebagai berikut:
“Tidak
diragukan lagi bahwa teori paling lama mengenai perdagangan internasional
adalah mengenai keunggulan komparatif (comparative advantage) yang pertama kali
diajukan oleh David Ricardo pada awal abad 19. Melalui demonstrasi aritmetik
yang jelas, Ricardo menunjukkan bahwa walaupun satu negara bisa memproduksi
barang-barang dengan lebih ekonomis (dalam pengetian waktu kerja) daripada
barang-barang negara lain, masih ada kemungkinan untuk memperoleh keuntungan
dari perdagangan kalau negara yang kalah unggul (disadvantaged) mempertukarkan
barang dimana ia memiliki keunggulan komparatif…”[3]
Berkaitan dengan hal itu juga, J.S.Mill beranggapan bahwa suatu negara akan mengkhususkan diri
pada ekspor barang tertentu bila negara itu memiliki keunggulan komparatif
terbesar dan akan impor barang tertentu bila negara tersebut memiliki kerugian
komparatif atau keunggulan komparatif terendah.[4]Di
dalam perdagangan internasional, dikatakan bahwa suatu negara melakukan
perdagangan internasional lebih disebabkan oleh adanya comparative
advantage. David Ricardo melalui teori comparative advantage menjelaskan
bahwa kedua negara akan melakukan melakukan perdagangan dengan memproduksi
barang yang paling efisien diproduksi oleh negara tersebut. Dalam tataran
praktis, perdagangan internasional sering dikaitkan dengan kegiatan ekspor dan
impor. Dalam perdagangan internasional biasanya sering dihadapkan oleh berbagai
kendala seperti tarif, kuota, dan jenis hambatan lainnya. Dari pemikiran David
Ricardo dan J.S. Mill tersebut,
dapat disimpulkan bahwa produk suatu negara yang akan dipasarkan harus memiliki
diferensiasi, spesialisasi dan keunikan tertentu yang tidak dimiliki negara
lain. Dengan demikian, diharapkan brand
image produk tersebut bisa menjadi alat untuk menaikkan posisi tawar dalam
proses transaksi perdagangan bilateral yang berorientasi pada keuntungan yang
signifikan.
Hubungan antar negara-negara diatur oleh sifat dari negara-negara
itu sendiri maupun oleh masyarakat internasional.[5]
Dalam hal ini, negara sebagai organisasi formal suatu bangsa memiliki otoritas
untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain sesuai aturan hukum dan
kultur politik suatu negara. Negara sebagai bagian dari masyarakat
internasional, dalam hal penyelenggaraan hubungan antar negara harus
memperhatikan tata krama politik internasional.
Dalam interaksi antar negara-negara tidak terdapat pemisahan yang
jelas antar sahabat dan musuh, antara bujukan dan paksaan. Dalam banyak hal, hubungan
mencakup unsur-unsur yang beragam-ragam bahkan yang bertentangan-ancaman
pemakaian sekali-sekali menyelinap ke hubungan yang sangat bersahabat
sekalipun, dan bahkan dua lawan ideologi yang bernafsu bisa berkompromi dalam
hal perdagangan.[6] Dalam
hubungan antar negara, kadang-kadang kepentingan pragmatis melampau hal-hal
yang normatif bahkan ideologis. Tetapi tidak berarti bahwa negara harus
bertindak di luar norma yang ada. Fleksibelitas dalam memaknai norma suatu
negara menjadi penting, agar kepentingan bangsa dan negara dalam berhubungan
dengan negara lain tercapai.
Garis pemisah antara urusan-urusan dalam negeri dan urusan-urusan
luar negeri makin lama makin kabur, dan hubungan internasional dapat
terpengaruh oleh, yang menurut bentuk sebenarnya, benar-benar urusan domestik,
seperti politik ekonomi, bila dilaksanakan oleh negara-negara berkekuasaan
besar, dapat menghalangi perdagangan atau aliran uang negara-negara kecil yang
tergantung pada perdagangan tersebut. Namun bukan tidak realistis untuk
berkosentrasi pada bentuk interaksi langsung antar negara untuk alasan yang
sederhana bahwa hal-hal dalam negeri dengan komponen internasional yang cukup
kuat cenderung akan segera dibahas secara internasional.[7]
Hubungan antar negara memiliki pengaruh yang cukup signifikan
dalam memperluas jaringan dengan berbagai negara-negara terkait dalam struktur
internasional. Independensi suatu negara sangat penting, tetapi tidak berarti
harus mengisolasi dan memarjinalkan diri dari pergaulan internasional. Jika
suatu negara dihadapkan dengan masalah domestiknya, maka secara otomatis negara
yang bersangkutan membutuhkan bantuan dan dukungan dari negara-negara lain
melalui instrumen hubungan bilateral maupun diplomasi di tingkat forum-forum
internasional.
Realisasi hubungan bilateral dalam konteks politik negara
diwujudkan melalui saluran hubungan diplomatik sebagai bentuk hubungan formal
antar kedua negara. Hubungan diplomatik merupakan salah satu cara yang digunakan
dalam hubungan internasional dengan memakai metode diplomasi atau negosiasi.[8]
Bagi negara manapun tujuan utama diplomasinya adalah pengamanan kebebasan
politik dan integritas teritorialnya. Ini bisa dicapai dengan memperkuat
hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan erat dengan negara-negara
yang sehaluan dan menetralisisr negara yang memusuhi. Persahabatan bisa dibina
dan sahabat-sahabat baru diperoleh melalui negosiasi yang bermanfaat. Ini akan
lebih mudah apabila terdapat kesamaan kepentingan.[9]
Bilateralisme mengacu pada hubungan politik dan budaya yang
melibatkan dua negara. Sampai saat ini, kebanyakan diplomasi internasional
dilakukan secara bilateral.[10]
Sesuai dengan perkembangan negara-negara dan bertambahnya jumlah negara-negara
yang merdeka sekarang ini, maka diperlukan perwakilan diplomatik yang permanen
dan merupakan suatu hal yang biasa dalam hubungan internasional. Perwakilan
diplomatik merupakan representasi pemerintah suatu negara di luar negeri yang
sudah menjalin hubungan diplomatik.
Selanjutnya ternyata ada kaitan yang erat antara pembukaan
hubungan diplomatik dengan suatu negara dan pengakuan terhadap negara tersebut
atau pemerintahnya. Karena hukum internasional tidak berisikan kewajiban hukum
untuk mengakui suatu negara, maka negara tersebut tidak dapat dipaksa untuk
menerima wakil-wakil dari negara yang tidak diakuinya. Penolakan suatu negara
untuk menolak hubungan diplomatik dengan alasan apapun terhadap negara lain
merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam praktek.[11]
Misalnya dalam kasus hubungan unik antara Indonesia-Israel.
Kita menyadari baik secara de facta
maupun de jure Indonesia tidak pernah
mengakui eksistensi negeri Zionis Israel tersebut. Oleh karena itu secara resmi
Indonesia tidak pernah bersedia berhubungan langsung dengan Israel. Sebabnya
jelas antara kedua negara tidak saling mengakui. Pada era pemerintahan Gus Dur
(2000-2001), pernah dicobakan untuk membuka hubungan resmi dengan Israel.
Tetapi rakyat Indonesia, bukannya mau menerima, tetapi justru marah karena
sikap buruk Zionis terhadap rakyat dan pemerintah Palestinalah yang menjadi
tolak ukur bersedia tidaknya rakyat Indonesia yang sebagian besar Muslim
bersahabat dengan negara Zionis tersebut. Meskipun demikian, dalam praktek
hubungan internasional, dalam berbagai
forum dunia terutama yang bukan bersifat politis, terlalu sering wakil/delegasi
Indonesia berhubungan dengan wakil-wakil dari Israel, misalnya dalam arena
Olahraga tingkat olimpiade di Athena, Korea, Jepang, dan lain-lain arena,
termasuk hubungan perdagangan melalui negara ketiga.[12]
B. Politik Luar Negeri
Secara umum politik
luar negeri merupakan seperangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran
untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam
percaturan dunia internasional.[13] Politik
luar negeri telah mempunyai beberapa definisi antara lain sebagai
pengejewantahan kepentingan nasional suatu negara terhadap negara lain.[14]
Kepentingan nasional merupakan keseluruhan nilai yang hendak diperjuangkan atau
dipertahankan di forum internasional. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa
kepentingan nasional merupakan kunci dalam politik luar negeri.
Politik luar negeri (foreign policy) merupakan strategi atau
rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam
menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan
dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam
terminologi kepentingan nasional.[15] Menurut
Couloumbus dan Wolfe, sebagaimana dikutip oleh R. Soeprapto bahwa politik luar
negeri merupakan sintesis dan tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan
kapabilitas. Politik luar negeri pelaksanaannya dilakukan oleh aparat
pemerintah. Oleh karena itu, aparat pemerintah mempunyai pengaruh terhadap
politik luar negeri. Di samping aparat pemerintah, kekuatan sosial politik yang
lebih dikenal dengan pressure groups
ikut berpengaruh pula.[16]
Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar
negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya
untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.[17]
Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai explicit and implicit actions of
governmental officials designed to promote national interests beyond a
country’s territorial boundaries.[18]Dalam
definisi ini ada tiga tekanan utama yaitu tindakan atau kebijakan pemerintah,
pencapaian kepentingan nasional dan jangkauan kebijakan luar negeri yang
melewati batas suatu negara.
Menurut Howard Lentner, pengertian kebijakan
luar negeri harus mencakup tiga elemen dasar dari setiap kebijakan yaitu
penentuan tujuan yang hendak dicapai (selection
of objectives), pengerahan sumber daya atau instrumen untuk mencapai tujuan
tersebut (mobilization of means) dan
pelaksanaan (implementation)
kebijakan yang terdiri dari rangkaian tindakan dengan secara aktual menggunakan
sumber daya yang sudah ditetapkan.[19]
Suatu
negara lazimnya berusaha mewujudkan tujuan nasionalnya melalui formulasi
kebijaksanaan politik luar negeri. Dalam hal ini Holsti berpendapat bahwa:
Kebijakan, sikap atau tindakan suatu
negara merupakan output politik luar negeri dengan berlandaskan
pemikiran, serta pola tindakan yang disusun oleh para pembuat keputusan untuk
(1) menanggulangi permasalahan, (2) mengusahakan perubahan dalam lingkungan internasional.[20]
Tujuan
politik luar negeri adalah untuk mewujudkan kepentingan nasional. Tujuan
tersebut memuat gambaran atau keadaan negara di masa mendatang dan kondisi masa
depan yang diinginkan. Pemerintah negara menetapkan berbagai sarana yang
diusahakan untuk dicapai dengan melakukan berbagai tindakan yang menunjukkan
adanya kebutuhan, keinginan dan tujuan.[21]
Sementara
Plano berpendapat bahwa setiap
kebijakan luar negeri dirancang untuk menjangkau kepentingan nasional. Tujuan
nasional yang hendak dijangkau melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi
konkret dan dirancang dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap
situasi internasional yang sedang
berlangsung serta power yang dimiliki
untuk menjangkaunya. Tujuan dirancang, ditetapkan, dan dipilih oleh pembuat
keputusan dan dikendalikan untuk mengubah kebijakan (revisionist policy) atau mempertahankan kebijakan (status quo policy) ikhwal negara
tertentu di lingkungan internasional.[22]
Holsti memberikan tiga
kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu
negara, yaitu:
1. Nilai (values)
yang menjadi tujuan dari para pembuat keputusan.
2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain ada tujuan
jangka pendek (short-term), jangka
menengah (middle-term), dan jangka
panjang (long-term).
3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada
negara lain.[23]
Pelaksanaan politik
luar negeri didahului oleh penetapan kebijaksanaan dan keputusan oleh
pemerintah dan instansi terkait baik dalam kapasitas sebagai konseptor maupun
eksekutor kebijakan. Dalam konteks ini, pemerintah juga harus memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor nasional sebagai
faktor internal seperti aspirasi konstituen domestik, elemen masyarakat sipil (civil society), dan faktor-fator internasional
sebagai faktor eksternal seperti peta kepentingan-kepentingan kekuatan internasional.
Di samping itu, dalam pelaksanaan politik luar negeri harus dipilih teknik atau
instrumen yang cocok untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan yang
disesuaikan dengan kekuatan nasional (national
power).
Adapun organisasi
pelaksana politik luar negeri merupakan wadah dari kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh para pelaksana politik luar
negeri. Menurut Dr. Budiono sebagaimana dikutip oleh R. Soeprapto, organisasi
tersebut pada umumnya terdiri dari:
a)
Pimpinan Tertinggi Eksekutif: tergantung
kepada sistem pemerintahan dari negara bersangkutan, bisa dipegang seorang
Presiden seperti di Indonesia dan Amerika Serikat, bisa seorang Perdana Menteri
seperti Malaysia dan Jepang), bisa juga Polit-Biro seperti layaknya di
negara-negara komunis Kuba dan Vietnam);
b) Di bawah Pimpinan Tertinggi Eksekutif adalah para pejabat tinggi
di bidang politik luar negeri seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan,
Menteri Perdagangan dan Kepala Dinas Intelejen;
c) Lembaga-lembaga negara seperti Parlemen dengan Komisi Luar Negerinya
dan berbagai Departemen yang tugasnya meliputi bidang politik luar negeri atau
yang berhubungan erat dengannya.[24]
Dalam pelaksanaan
politik luar negeri untuk mencapai yang sesuai dengan kepentingan nasionalnya, pemerintah
dihadapkan dengan beberapa alternatif pemilihan instrumen. Instrumen-instrumen
tersebut ada yang legal dan ada yang ilegal. Instrumen yang legal bersifat
kooperatif, keabsahannya diakui dan sering digunakan, misalnya diplomasi,
sedangkan yang ilegal tidak bisa diterima oleh pihak lain dan biasanya
dipergunakan dalam kondisi yang memperlihatkan adanya oposisi, misalnya
subversi. Tetapi perlu diperhatikan sekalipun hubungan antar negara dalam
situasi konflik dan diwarnai oleh sikap kooperatif, namun sepanjang masih ada
kemauan untuk mencapai kesepakatan maka instrumen yang legal masih bisa
dipakai.[25]
Dalam hal formulasi dan
implementasi kebijakan politik luar negeri, pemerintah harus melihat peluang
dan kendala baik secara internal maupun eksternal. Hal yang lebih penting juga
adalah mengukur kekuatan nasional yang ada dan membangun hubungan secara lebih
luas dengan negara-negara yang memiliki akses ekonomi-politik yang kuat untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan nasional negara tersebut. Politik luar negeri
sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional yang berlandaskan
pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara merupakan saluran untuk terlibat
secara pro-aktif dalam proses-proses yang terjadi di lingkungan internasional.
C. Kepentingan Nasional Dan Tujuan Negara
1.
Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik
luar negeri. Sepanjang mengenai kepentingan nasional orang bisa berorientasi
kepada ideologi atau berorientasi kepada sistem nilai sebagai pedoman perilaku.
Artinya bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan-pertimbangan
kepentingan atau gabungan antara kedua pertimbangan tersebut. Bisa juga
kadang-kadang terjadi interplay
antara ideologi dengan kepentingan sehingga terjadi suatu hubungan timbal balik
dan terjadi saling mempengaruhi antara pertimbangan-pertimbangan ideologis
dengan pertimbangan-pertimbangan kepentingan yang tidak menutup kemungkinan
terjadi formulasi yang lain atau baru.[26]
Miroslav
Nincic memperkenalkan tiga kriteria
atau yang disebutnya asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam mendefinisikan
kepentingan nasional. Pertama, kepentingan harus bersifat vital sehingga pencapaiannya
harus menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat. Kedua, kepentingan
tersebut harus berkaitan dengan lingkungan
internasional Artinya pencapaian kepentingan nasional harus dipengaruhi
oleh lingkungan internasional. Ketiga, kepentingan nasional harus melampaui
kepentingan yang bersifat partikularistik dari individu, kelompok atau lembaga pemerintahan. Sehingga menjadi kepedulian
masyarakat secara keseluruhan.[27]
Paul Seabury mengemukakan pendapatnya tentang konsep kepentingan nasional. Menurutnya:
Istilah kepentingan nasional
berkaitan dengan beberapa kumpulan cita-cita tujuan suatu bangsa ... yang
berusaha dicapainya melalui hubungan dengan negara lain. Dengan kata lain,
gejala tersebut merupakan suatu normatif, atau konsep umum kepentingan nasional
... Arti kedua yang sama pentingnya biasa bersifat deskriptif. Dalam pengertian
deskriptif, kepentingan nasional dianggap sebagai tujuan yang harus dicapai
suatu bangsa secara tetap melalui kepemimpinan pemerintah. Kepentingan nasional
dalam pengertian deskriptif, berarti memindahkan metafisika ke dalam fakta
(kenyataan) ... dengan kata lain kepentingan nasional serupa dengan para
perumus politik luar negeri...[28]
Di sini terlihat bahwa untuk mencapai kepentingan nasional perlu
adanya strategi tertentu dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Strategi
kebijakan luar negeri dirumuskan dengan memperhitungkan berbagai aspek. Seperti
kekuatan nasional serta peluang dan kendala yang mungkin muncul. Jalinan
hubungan luar negeri suatu negara harus bersandar pada potensi nyata yang
dimiliki, serta kondisi dalam negara tersebut.
Kalau kita menggunakan pendekatan realis atau neorealis
maka kepentingan nasional diartikan sebagai kepentingan negara yang
penekanannya pada peningkatan kekuasaan nasional untuk mempertahankan keamanan
nasional dari negara tersebut. Kepentingan nasional lainnya seperti pembangunan
ekonomi disubordinasikan sebagai elemen dari kekuatan nasional. Kepentingan nasional merupakan hal yang sangat urgen bagi suatu
negara karena terkait dengan survival dan eksistensinya di tengah dunia
internasional. Urgensitas kepentingan nasional bisa dilihat dari pentingnya
mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah dari intervensi asing dan
juga ancaman disintegrasi. Negara dalam hal ini harus memainkan peran yang
penting untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya dalam pergaulan internasional.
Dalam
mewujudkan kepentingan nasional, suatu negara hendaknya membuat skala prioritas
agar agenda-agenda yang dimaksud berjalan secara terarah. Dilihat dari skala
prioritasnya, kita bisa mengklasifikasi urutan-urutannya dari yang bersifat
primer sampai sekunder. Kepentingan nasional yang bersifat primer misalnya
dalam hal mempertahankan eksistensi suatu negara, meneguhkan nilai-nilai fundamental
yang menjadi identitas dalam konteks kebijakan luar negerinya. Sedangkan, kepentingan
yang bersifat sekunder biasanya terkait dengan aktivitas kultural. Walaupun
tidak terkait dengan eksistensi negara secara langsung, namun tetaplah penting
untuk diperjuangkan sebagai pelengkap kuatnya fondasi kebangsaan. Misalnya,
kontestasi budaya, pengiriman duta pariwisata, kerjasama di bidang keilmuan,
pertukaran mahasiswa dan pemuda, olahraga, dan lain-lain.
2.
Tujuan Negara
Negara
(state) adalah suatu konsep hukum menggambarkan
kelompok sosial yang menempati wilayah tertentu dan diatur oleh lembaga politik
bersama serta memiliki sebuah pemerintah yang efektif. Beberapa pengamat
menambahkan kualifikasi bahwa kelompok masyarakat tersebut harus memiliki
kehendak untuk menerima kewajiban hukum internasional dalam hidup bernegara.
Negara secara hukum diakui keberadaannya manakala diakui oleh negara anggota
masyarakat internasional.[29]
Negara
merupakan unit utama politik dan masyarakat hukum internasional. Negara timbul
dengan runtuhnya kekuasaan feodal di Eropa, dan negara berada dalam hubungan
dengan negara lain. Sebagai unit politik berdaulat, negara memiliki hak untuk
menetapkan tujuan nasionalnya serta menentukan teknik untuk mencapainya. Namun
kebebasan bertindak negara dibatasi oleh hukum dan organisasi internasional,
serta oleh hubungan antar negara kuat dan situasi informal yang menandai
lingkungan internasional pada waktu tertentu.[30]
Ciri utama negara
modern adalah bahwa negara mempunyai wilayah yang jelas, sebuah pemerintahan
yang diberi otoritas kedaulatan serta pelaksanaan kekuasaan terhadap rakyat.
Beberapa komentator menambahkan ciri keempat: pengakuan. Pengakuan berarti
bahwa klaim negara terhadap wilayah tertentu dan haknya untuk menjalankan
kedaulatan terhadap rakyatnya diakui oleh negara-negara lain. Pengakuan bisa
dalam berbagai bentuk, tetapi umumnya pengakuan mencakup pembukaan hubungan
diplomasi atau keikutsertaan dalam berbagai perjanjian dengan negara lain.[31]
Secara internasional, negara bukan hanya pemerintah :
negara adalah wilayah yang berpenduduk dengan pemerintahan nasional masyarakat.
Dengan kata lain, negara (state)
adalah negeri (country). Dari sudut
tersebut, baik pemerintah maupun masyarakat domestik membentuk negara. Jika
suatu suatu negeri adalah negara berdaulat, secara umum ia akan diakui merdeka
secara politik. Hal itu merupakan aspek eksternal negara dalam konteks hubungan
antar negara (interstate relation).[32]
Hal itu membawa kita ke dimensi kedua dari negara, yang
membagi aspek eksternal kenegaraan berkedaulatan ke dalam dua kategori besar.
Kategori pertama adalah negara dipandang
sebagai institusi legal atau formal
dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Yakni, negara sebagai entitas yang
diakui berdaulat atau merdeka, memperoleh keanggotaan dalam
organisasi-organisasi internasional, dan memiliki berbagai macam hak dan
kewajiban internasional. Kategori kedua adalah negara dipandang sebagai
organisasi politik-ekonomi yang penting (substansial).
Kategori ini berkaitan dengan perluasan di mana negara telah mengembangkan
institusi-institusi politik yang efisien, berdasar ekonomi yang kokoh, dan
tingkat persatuan nasional yang kokoh, yaitu persatuan umum dan dukungan bagi
negara.[33]
Di dunia internasional, negara-negara yang ada memiliki perbedaan
yang cukup signifikan dalam banyak hal, yaitu legitimasi institusi politiknya, organisasi
pemerintahnnya, produktifitas dan kekayaan ekonominya, status dan pengaruh
politiknya, dan persatuan nasionalnya. Berdasarkan realitas perbedaan tersebut,
maka negara-negara tersebut bekerja sama demi memperoleh keuntungan timbal
balik sesuai kepentingan nasional masing-masing. Biasanya negara-negara
tersebut menjalankan hubungan diplomatik, hubungan dagang dan investasi, kerja sama
di bidang pengetahuan, pariwisata dan sebagainya. Negara sebagai entitas
politik formal memiliki peran dan aktivitas yang signifikan di lingkungan
internasional yang berbasis pada tujuan nasionalnya.
Menurut Toma dan Gorman, factor pendukung utama untuk kontinyuiti
hubungan inernasional adalah aktor negara bangsa (nation-state) yang dengan atribut kedaulatan dan penggunaan power untuk meraih kepentingan nasional
berupaya untuk mempertahankan perannya sebagai aktor utama dalam hubungan
internasional. Sedangkan, pendukung chance
adalah globalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, ancaman terhadap lingkungan
hidup, peningkatan power dan influence dari aktor non-negara.
Hubungan internasional kontemporer yang sekarang kita saksikan menunjukkan
bahwa kekuatan-kekuatan chance
tersebut sedang berupaya memporak-porandakan landasan tradisional tata hubungan
internasional.[34]
D. Perspektif Ekonomi Politik
Metode pendekatan ekonomi politik dapat diaplikasikan kepada
berbagai disiplin ilmu yang suplementif dan komplementatif, juga terhadap
prisma lainnya dari studi ini dalam berbagai aspek, seperti misalnya: public
policies yang berorientasi kepada parameter cost and benefit, yang
disebabkan adanya kebijakan-kebijakan tertentu, atau juga adanya struktur
tertentu daripada pembuat kebijakan keputusan Studi Ekonomi Politik yang hirau
terhadap the economics public policy sebagaimana yang dideskripsikan
Robert Gilpin (1987): “Siapa yang diuntungkan, siapa yag dirugikan dan
bagaimana pula prosesnya.”[35]
Sebagaimana Martin Staniland
menyebutkan, bagaimana politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana
institusi-institusi ekonomi menentukan proses-proses politik. Kedua bidang (Ekonomi Politik) dimaksud, secara explanatory
dan normative sesungguhnya saling komplementasi, tergantung pada
keperluan mana ia ditempatkan. Ia berhubungan satu dengan yang lainnya
dalam upaya menjelaskan bagaimana hubungan antara bidang ekonomi dan
bidang politik berproses serta dapat berkaitan melalui pengaruh yang
bersifat timbal balik. Misalnya pada filsafat dasar kausalitas; mana
yang sebab dan mana yang akibat. Sisi yang paling dominan akan
ditentukan oleh situasi dan kondisi yang berlaku, bisa saja proses
politik lebih dominan dibanding aspek-aspek ekonomi, atau sebaliknya.
Studi hubungan internasional
kontemporer mengakui keterkaitan mutlak antara politik dan ekonomi. Di samping
itu, diakui pula bahwa perilaku internasional bertolak dari politik domestik,
dorongan ekonomi domestik, dan tujuan internasional dari elit ekonomi dominan
di negara yang bersangkutan. Itu sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli
mulai menelaah konsep ekonomi politik global sebagai sebagai salah satu unsur
hubungan internasional yang fundamentalis.[36]
Suatu negara bisa
mengabaikan motif keuntungan dan menggunakan kebutuhan ekonomi negara lain
untuk memperluas pengaruh politiknya, baik melalui perdagangan yang dilakukan
langsung dari pemerintah maupun swasta. Holsti
(1995), dalam bukunya International Politics: A Framework
for Analysis, membuat suatu kerangka analisis instrumen perdagangan dalam
politik luar negeri yang biasanya dilakukan dengan tiga maksud, yaitu : a. Mencapai sasaran luar negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan
dan ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan
ancaman menerapkan sanksi ekonomi; b. Meningkatkan kapabilitas negara, atau
meniadakan potensi kapabilitas negara lawan; dan c. Menciptakan satelit ekonomi
(yaitu, dengan jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu
mempertahankan ketaatan politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang
pengaruh” dengan membentuk hubungan ketergantungan ekonomi.[37]
Secara empirik, tingkat saling
ketergantungan (interdependensi) dalam masyarakat internasional yang semakin
tinggi sebagai akibat proses transnasionalisme dalam ekonomi yang melewati
batas-batas negara, seperti peningkatan perdagangan, keanggotaan
kelompok-kelompok ekonomi regional, dan proses globalisasi, telah menjadikan
kondisi, dimana tidak ada lagi suatu kebijakan ekonomi politik nasional yang
benar-benar bersifat domestik.[38]Hal
ini menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik pada level kebijakan tidak
hanya berdimensi domestik, tetapi juga berimplikasi pada negara lainnya dan
masalah-masalah internasional secara lebih luas. Dalam konteks ini, munculnya
pendekatan ekonomi politik internasional dalam studi hubungan internasional
bisa dikatakan sebagai konsekuensi dari kompleksitas masalah internasional yang
memiliki keterkaitan dengan masalah domestik.
Versi internasionalisasi dari
perspektif ekonomi politik yang dikonsepsionalisasikan dengan istilah ekonomi
politik internasional merupakan pendekatan baru yang berkembang pasca perang
dingin sebagai akibat dari trend
pergeseran isu hubungan internasional dari isu keamanan ke isu ekonomi yang
menekankan hubungan antara ekonomi dan politik. Pada sekitar tahun 1970-an
bermunculan banyak negara-negara baru sebagai akibat dari dekolonisasi, dimana
negara-negara yang baru merdeka tersebut berada pada posisi subordinat secara
politik dan ekonomis dalam sistem internasional. Negara-negara baru yang termarjinalkan
secara politis dan ekonomis tersebut tampil dalam forum internasional seperti
PBB berupa tuntutan ekonomi. Fenomena tersebut juga sebagai salah satu pendorong
berkembangnya pendekatan ekonomi politik internasional.
Menurut Frieden dan Lake, ekonomi politik
internasional diartikan sebagai the study of interplay of economics and
politics in the word arena.[39] Ekonomi di sini didefinisikan
sebagai sistem produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan. Sedangkan, politik
diartikan sebagai sehimpun lembaga dan aturan yang mengatur berbagai interaksi
sosial dan ekonomi.
Sedangkan, menurut Gilpin, sebagaimana dikutip oleh Mohtar
Mas'oed, mengemukakan bahwa ekonomi politik internasional adalah interaksi timbal balik dan dinamis antara upaya pengejaran
kekayaan dan kekuasaan dalam hubungan internasional.[40]
Di sini Gilpin menekankan pada aspek
kekuasaan dalam konsep ekonomi politik internasional. Selain itu, pandangan
Gilpin di atas juga memperlihatkan bahwa pendekatan ekonomi politik
internasional mengakui keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam hubungan
internasional.
Dalam konteks prospek hubungan bilateral Indonesia-Israel
dalam perspektif ekonomi-politik, dapat dijelaskan mengenai segi-segi
kepentingan Indonesia terhadap Israel maupun sebaliknya dalam hal upaya
pengejaran kekayaan (ekonomi) dan kekuasaan (politik) yang memiliki saling
keterkaitan dalam konstelasi hubungan internasional. Kepentingan ekonomi Indonesia
dalam arti pemenuhan kebutuhan ekonomi nasionalnya melalui kerja sama ekonomi
dengan negara lain, termasuk dengan Israel yang bisa dikatakan unggul dalam sektor
teknologi tinggi (high-tech). Begitu
juga dengan kepentingan politik Indonesia pada level kekuasaan yang ingin
dicapai adalah untuk menciptakan ruang pengaruh terhadap Israel, dimana
kepentingan politik Indonesia berorientasi pada upaya keterlibatan dalam
berbagai kepentingan-kepentingan strategis di Timur Tengah dan dunia
internasional secara umum.
Interaksi timbal balik dan dinamis dalam konteks ini merupakan
keterkaitan antara upaya-upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan keinginan
memperoleh kekuasaan. Kedua elemen ini, yaitu ekonomi dan kekuasaan, akan
saling mendukung dalam hal pembangunan nasional. Keunggulan ekonomi dapat digunakan
untuk meraih kekuasaan, dan demikian pula sebaliknya, kekuasaan adalah alat
yang efektif dalam upaya membangun perekonomian.
Dalam kaitan ini, Jones mengemukakan
bahwa:
“Studi hubungan internasional
kontemporer mengakui keterkaitan mutlak antara politik dan ekonomi. Di samping
itu, diakui pula bahwa perilaku internasional bertolak dari politik domestik,
dorongan ekonomi domestik dan tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang bersangkutan. Itu sebabnya sejak satu
dasawarsa lalu para ahli mulai menelaah konsep ekonomi politik global sebagai.
salah satu unsur hubungan internasional yang fundamentalis”.[41]
Kutipan di atas memaparkan bahwa dewasa ini telaah terhadap
konsep ekonomi politik oleh para ahli semakin berkembang. Dimana konsep
tersebut telah dianggap sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang
fundamental. Hal ini dikarenakan politik dan ekonomi merupakan dua elemen yang
saling berkait dan sulit dipisahkan dalam studi hubungan internasional. Di
samping itu, perilaku internasional suatu negara dilatarbelakangi oleh tiga
hal, yaitu kondisi politik dalam negeri, dorongan ekonomi, dan tujuan
internasional dari elit ekonomi negara tersebut.
[1] Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan
Mochamad Yani, Op.Cit, hal. 41
[2] Ibid, hal. 42
[3] Mohtar Mas’oed, Op.cit, hal. 11-12
[4] Tulus T.H. Tambunan, Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2004, hal.57
[5] J. Frankel, Hubungan Internasional, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hal. 89
[6] Ibid, hal. 120
[7] Ibid, hal. 120
[8] M. Tasrief, Hukum Diplomatik (Teori dan Prakteknya), Surabaya: CV. Al-Ihsan,
1988, hal. 14
[9] S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hal. 6
[10] Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2008, hal. 85
[11] Syahmin, Ak, Op.cit, hal. 47
[12] Ibid, hal. 46
[13] Anak Agung Banyu Parwita dan
Yanyan Mochamad Yani, op.cit, hal. 47
[14] S.L. Roy, op.cit. hal. 31
[15] Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional, Jakarta:
Putra A Bardin, 1999, hal. 5
[16] R Soeprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi
dan Perilaku, Jakarta: Rajawali
Pers, 1997, hal. 187-188
[17] Anak Agung Banyu Perwita,
op.cit, hal. 49
[18] Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 64
[19] Ibid, hal. 65
[20] K.J. Holsti, Op.cit, hal. 131
[21] R. Soeprapto, op.cit., hal. 188
[22]Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan
Mochamad Yani, op.cit., hal: 51
[23] Ibid, hal. 51-52
[24] R. Soeprapto, op.cit., hal.
202-203
[25] Ibid, hal. 206
[26] R. Soeprapto, op.cit., hal.
149-150
[27] Aleksius Jemadu, op.cit., hal.
67
[28] Sebagaimana dikutip oleh K.J.
Holsti dalam Politik Internasional Suatu
Kerangka Analisis, diterjemahkan oleh Wawan Juanda, (Bandung : Binacipta,
1987), hal. 168-169.
[29]
Jack C. Plano dan Roy Olton, Op.cit, hal. 245
[30] Ibid, hal. 245
[31]
Jill Steans dan Lloyd Pettiford, Hubungan
Internasional, Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal.
59-60
[32]
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar
Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 29
[33] Ibid, hal. 29-31
[34]
PACIS, Perubahan Global dan Perkembangan
Studi Hubungan Internsional, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 85
[35] Yanuar Ikbar, Op.cit, hal. 2
[36] Walter, S. Jones, Op.cit, hal. 248
[37] K.J. Holsti, Op.cit, hal. 303
[38] , Anak Agung Banyu Perwita, dan
Yanyan Mochamad Yani, , Op.cit., hal.77
[39] Mohtar Mas’oed, Op.cit, hal. 3.
[40] Ibid, hal. 3.
[41] Walter S. Jones, Op.cit, hal. 248.
0 komentar:
Posting Komentar