Sejarah hukum islam
MAKALAH
Diajukan
Untuk Melengkapi Tugas Pekuliahan
Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Program Studi PPKN
Mata
Kuliah. Hukum islam
Dosen :
Sri Hidayati S.HI, S.PdI M.Pd
Oleh
:
Kelompok VIII
ABDUL
RAHMAN RAZIK 13
2011 011
Wiwin 13
2011 0
NURHIDAYATI 13
2011 055
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM OKI (UNISKI) KAYUAGUNG
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013
Bab II Pembahasan
A. Sekilas Pandang Tentang Ijtihad
dan Mujtahid
Secara etimologis, ijtihad berakar
pada kata : “ja ha da” yang berarti: kesulitan atau “kesusahan” Kata ijtihad
berasal dari kata “aljuhdu” (dengan dhammah atau fathah huruf jiim berarti
kemauan dan kesulitan “masyaqqah”; kata ini sepola dengan naf’ah. Misalnya
ungkapan “wajtahid fil amri” yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya
mencapai sesuatu guna mencapai apa yang diinginkan yang berupa tujuan akhir.
Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan
ijtihad berkata, “Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan
hukum syari’at dari sumber aslinya.”. Adapun
Pembagian mujtahid yaitu sebagai berikut
1.
Mujtahid
Muthlaq, yaitu orang yang mampu menggali atau mengambil hokum-hokum cabang dari
dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan dasar-dasar pokok yang ia
susun sebagai landasan ijtihajnya.Mujtahid ini terbagi menjadi dua ya’ni
mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid mutlaq muntasib.
2.
Mujtahid
Mazhab, Mujtahid ini juga terbagi menjadi dua macam, ya’ni mujtahid takhrij dan
mujtahid tarjih.
B. Ijtihad Pada Masa Imam Mazhab
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada
abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode
pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang
kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
1. Imam abu hanifah (Imam Hanafi)
Nama lengkapnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha.
Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada
tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal
dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man. Imam Abu Hanifah adalah pemikir
dibidang fiqh yang kemudian hasil-hasil pemikirannya disebut dengan Mazhab
Hanafi. Oleh karena itu ia disebut sebagai pendiri Mazhab Hanafi. Ia dikenal
sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh
berbagai ulama di zamannya.
Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah dikenal banyak menggunakan
ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam
nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan
qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam
menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits
mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman Ijtihad dalam
menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an,
sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama
yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya
merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua
sumber tersebut.
2. Imam Maliki (Malik Ibn Anas)
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas
bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik dikenal
sebagai pelopor tebentuknya Mazhab Maliki. Mazhab Maliki adalah merupakan
kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di
masasesudah beliau meninggal dunia. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya
sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Dasar Ijtihad Imam Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Dasar Ijtihad Imam Malik adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ‘Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ‘Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
3. Imam syafi’i
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Idris Asy Syafi’I,
seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H
bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang
pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti
di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun.
Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian
beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat
dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi’i
menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan
hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam berijtihad menetapkan hukum
Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika
tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam
kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan
penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai
landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan
ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap
suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila
dalam ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang
dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi
Imam asy-Syafi ‘i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia
menolak istihsan sebagai salah satu cara mengistinbatkan hukum syara’.
4. Imam Hanbali
Beliau adalah pendiri Mazhab Hanbali. Nama lengkapnya ialah
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di
Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang
imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan,
antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat
menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya. Ia terkenal sebagai
ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi
kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
1.
An-Nusus
(jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
2.
Fatwa Sahabat;
3.
Jika
terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas,
maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi
SAW;
4.
Hadits
mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan
ijma’; dan
5.
Apabila
dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan
qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa.
Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad
ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi
berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ‘urf; istishab,
dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam. Metode istinbath Imam Ahmad bin
Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan
ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk
masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas.
C. Ijtihad Pasca Imam Mazhab
Masa pasca masa Imam Mazhab ini terbagi menjadi 2 ya’ni;
masa taklid dan konsolidasi mazhab atau pada fase disintegrasi dan masa periode
masa stagnasi dan kemunduran tasyri’dan kebangkitan(periode pasca runtuhnya
baghdad) hingga masa sekarang atau modern.
1. Masa taklid dan konsolidasi
mazhab atau pada fase disintegrasi (IV-VII H)
1) Masa Taklid.
Semangat dan kemerdekaan ijtihad
yang marak mewarnai aktifitas tasyri’ di berbagai periode sebelumnya,
seolah-olah lenyap dan diganti dengan semangat dan jiwa baru yang justru
menjadi titik awal kemunduran tasyri’, ya’ni taklid. Kalaupun ditemukan, adanya
hanya praktek ijtihad yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tasyri’ generasi ini,
namun yang ada hanyalah mujtahid muqoyyad atau mazhab. Mujtahid ini terbagi
menjadi dua bagian, yakni Mujtahid Takhrij (Mujtahid Asbab al- Wurud), dan
Mujtahid Tarjih (Mujtahid Fatwa).
a.Tradisi taklid .
Yang dimaksud dengan taklid disini adalah totalitas penerimaan
rumusan hokum syari’at Islam dari seorang imam tertentu, dan anggapan bahwa
ketetapan itu muthlak harus di ikuti oleh muqollid, seolah-olah ada dalil nash
yang mewajibkan hal itu.
Dalam mendeskripsikan kondisi
tasyri’ di periode ini, al-Hajwi berkata,”tradisi taklid telah menguasai para
‘ulama’. Mereka cukup puas dengan hanya bertaklid. Dan kondisi ini terus
berkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang. Puncaknya terjadi
pada pertengaahan abad ke IV H. karena pada saat itu mayoritas ‘ulama’ tela
puas dengan mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, dan
Hanbali Kontribusi pemikiran imam-imam
tersebut di nilai menyamai nash al-Qur’an dan as-sunnah yang tidak berani
mereka tentang”. Senada dengan al-Hajwi, Farouq Abu
Zaid mengatakan, “Kondisi rapuh yang menimpa dunia Islam semenjak pertengahan
abad ke IV H sampai runtuhnya kekuasaan Abbasiyah di Baghdad membawa dampak
yang hebat bagi rapuhnya fiqh. Akibatnya, tertutuplah pintu ijtihad dan
terbelenggunya pemikiran. Berkembanglah kemudian semangat taklid di kalangan
pakar fiqh. Dalam menyikapi berbagai permasalahan dan fenomena masyarakat,
mereka tidak lagi melakukan isthinbath al-ahkam secara langsung dari sumber
hokum, al-Qur’an hadis. Mereka lebih suka mengikat diri dengan
pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat pendahulunya.
b. Sebab-Sebab Taklid
Tumbuh dan berkembangnya mentalitas
taklid pada periode ini di sebabkan oleh beberapa faktor, baik internal atau
eksternal. Diantara sebagian kecil faktor tersebut ialah:
(1) Instabilitas sosial politik.
(2) Rumusan hokummazhab fiqh
dianggap sudah pari purna.
(3) Fanatisme bermazhab(Ta’ashshub).
(4) Melemahnya semangat ijtihad.
(5) Tertutupnya pintu ijtihad.
2). Konsolidasi Mazhab.
Dalam hal ini, Khudlori Bik menyebutkan tiga fokus aktifitas
tasyri’ ilmiyah pakar-pakar fiqh periode ini; pertama, menganalisa alasan
hokum(illat) yang dideduksikan oleh imam mazhab;kedua, mentarjih(menyeleksi)
berbagai pendapat mazhab ;ketiga, pembelaan terhadap eksistensi mazhab.
Fokus pertama lebih sering di lakukan ulama’-ulama’ Hanafiyah, dengan cara: memanfaatkan pengetahuan tentang illat hukum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan yang pernah terjamah hukumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad.
Fokus pertama lebih sering di lakukan ulama’-ulama’ Hanafiyah, dengan cara: memanfaatkan pengetahuan tentang illat hukum, menganalogiskan kasus baru dengan permasalahan yang pernah terjamah hukumnya oleh pemikiran imam mazhab, serta memanfaatkan kaidah ushul yang menjadi pedoman imam mazhab dalam berijtihad.
Fokus kedua adalah tarjih atau penyelesaian pendapat, yang
di lakukan dengan dua pendekatan, yakni dari segi periwayatan dan dari segi
diroyah(analisa substansi hukum). Dari kedua corak ini, dalam fiqh kemudian
dikenal dengan ahl al-tarjih atau mujtahij tarjih. diantara ulama’ ini adalah;
al-Qadwari dan Abu Bakr ibn ‘Abd al-Jalil al-Marghainaini, pemilik buku induk
mazhab Hanafi yang terkenal, ya’ni al-Hidayah. Sedangkan dari mazhab Syafi’I di
antaranya adalah Imam al-Haramain.
Fokus ketiga adalah upaya mengukuhkan eksistensi
mazhab(konsolidasi mazhab) dengan cara mengekspos atau mempublikasikan
keunggulan dan kelebihan imam mazhab serta dengan mengetahkan argument sebagai
bukti akurasi hasil ijtihad imam mazhab dan mencari titik kelemahan pendapat
hokum yang bersebrangan dengan imam masing-masing.
2. Periode masa stagnasi dan kemunduran
(656 -Abad 15 H/ 1258-Abad 21M).
1). Periode masa stagnasi dan
kemunduran tasyri’
Periode masa stagnasi, sebagai kelanjutan dari tradisi
taklid yang tumbuh pada masa sebelumnya , di susul kemudian dengan masa
kebangkitan atas kesadaran umat dari ketertinggalan mereka di berbagai bidang.
Masa stagnasi yang berlangsung hingga kisaran abad ke 12 merupakan masa ketika
umat Islam hanya mengandalkan pemikiran imam-imam mazhab terdahulu. Khudlari
bik mengatakan, “Tidak ada seorangpun yang(pasca periode imam mazhab) yang
mencapai skill mujtahid kecuali hanya sedikit dari mereka”. Ulama’ yang bisa
menggantikan mereka di antaranya; ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam(w.660H), Ahmad
Ibn Taimiyah(w.728H), Taqi al-Din al-Subqi(w.756H), Taj al-Din
al-Subqi(w.756H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah(w.751H), Jalal al-Din
al-Mahalli(w.864), Jalal al-Din al-Suyuthi(w.911H),dan lain sebagainya.
a) Hal-hal yang menyebabkan stagnasi
(a) Hancurnya Baghdad.
Secara praktis karena kota Baghdad
dihancurkan oleh tentara mongol yang merupakan kota kebudayaan dan pengetahuan
Islam, berpengaruh hebat bagi kemunduran Islam pada periode berikutnya, di
samping itu juga, buju-buku perpustakaan dibakar dan juga karena adanya kendali
di bawah orang-orang komunis.
(b) Miskomunikasi ulama’.
Kondisi semacam ini sangat kontras di era ini, Ulama’ Mesir
jarang yang kenal dengan Ulama’ Syam, begitu juga sebaliknya, di samping itu
juga semangat berbagi keilmuan mulai berkurang, di samping pancaran cahaya yang
sudah mulai meredup.
(c) Intervensi ilmu-ilmu
non-syari’at
Masuknya penjajah Eropa menjadikan dikotomi antar Negara dan
syari’at (sekularisme), begitu juga undang-undang Islam diganti dengan
undang-undang versi barat, hal ini berlangsung hingga kini kecuali segelintir
dari Negara-negara Islam, seperti Saudi Arab (Hanbali), Pakistan (Hanafi), Iran
(Syi’ah Ja’fari).
2). Periode masa kebangkitan
2). Periode masa kebangkitan
Munculnya tokoh-tokoh besar seperti, al-Nawawawy, Ibnu
al-Taimiyyah, dan al-Syaukany-tanpa menghilangkan rasa hormat pada mereka,
ternyata belum mampu membangkitkan ghairah umat untuk bangkit dari keterpurukan
tersebut.
Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , yakni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hukum yang bisa menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi-diiskusi membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab, Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya.
Walhasil kebangkitan mulai terlihat pada abad 12 hingga sekarang , yakni ketika intelektual Islam mulai melihat realitas yang menunjukkan bahwa hasil rumusan imam-imam masa lalu meskipun banyak yang masih relevan namun banyak pula yang perlu ditinjau ulang. Hal itu dilakukan demi terciptanya rumusan-rumusan hukum yang bisa menyesuaikan dengan realitas kekinian . mulalah diadakan diskusi-diiskusi membahas perubahan dalam mazhab-mazhab fiqih. Sehingga muncul beberapa tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahab, Muhammad ‘Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi, Wahbah al-Zuhaili,Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya.
D. Tasyri’
pada Masa Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin
adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tertinggi
umat Islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai
kepala negara,yaitu Abu Bakar (w. 13 H), Umar bin Khattab (w. 23 H),Usman bin
Affan (w. 35 H ) dan Ali bin Abi Thalib
(w. 40 H). Sebutan tersebut diberikan-kepada mereka, selain berhubungan dengan
sifat rasyad atau rusyud yang diangap selalu menyertai tindakan dan kebijakan
yang mereka lakukan juga dengan ungkapan yang tersebut di dalam hadis Nabi Saw.
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad
saw tahun 11 H, sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah
bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan
Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad
dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash
Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah
banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. Pada periode
ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat
pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para faqih
berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-Qur'an tidak diketemukan
dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan
yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad
Alasan mereka untuk kembali Al-Qur’an dan
As-Sunnah adalah sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an untuk berbakti
kepada Allah dan Rasulullah, dan mengembalikan hal-hal yang diperselisihkan
kepada Allah dan Rasulullah serta menerima atau berserah diri kepada sesuatu
yang sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasulullah.
Adapun alasan mereka untuk memegangi ijtihad
adalah
a. Mereka mencontoh
perbuatan Nabi, yaitu mempergunakan ijtihadnya apabila wahyu Ilahi tidak turun
kepadanya.
b. Percakapan yang
pernah terjadi ketika Rasulullah mengutus Muaz bin Jabal menjadi Qadi negeri
Yaman.
c. Apa yang mereka
pahami dari penyebutan illat (alasan) pada sebagai hukum dalam nas
al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa tujuan dari penetapan hukum tersebut ialah untuk
merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Dan manakala kemaslahatan menghendaki
perturan, umat Islam wajib berusaha menyusun peraturan yang bisa merealisasikan
kemaslahatan tersebut.
Atas dasar inilah, para mufti dari
kalangan sahabat bersepakat untuk mengembalikan persoalan kepada sumber
perundang-undangan yang tiga ini dengan mengikuti urutan-urutannya, sebagaimana
yang sudah kita cantumkan di atas.
Para sahabat ketika menerima alquran dan Sunah, mereka
tunduk mengamalkannya menurut teks ungkapan semata-mata, kecuali sahabat
seperti Umar bin Khattab. Tercatat dalam banyak hal ia sering mengusulkan
pendapatnya kepada Khalifah Abu Bakar untuk dijadikan sumber kebijakan, seperti
upaya pengumpulan Alquran dan sebagainya; begitu pula pendapatnya hingga
dibijaki sendiri melalui dewan musyawarah sahabat, atau kadang menggunakan
kekuasaan otoriternya dalam kapasitas beliau sebagai khalifah; seperti
kebijakannya mencabut hukum potong tangan pada musim krisis pangan, hukum harta
rampasan dari hukum perdata hak milik prajurit menjadi milik negara atau
membebankan hak bagi khalifah untuk menarik pajak di atasnya, Sehingga di
samping hukum zakat ada hukum pajak, serta reinterpretasi hukum dalam pembagian
zakat.
Pada periode ini, metode dalam
pembentukan dan pembinaan hukum, dilaksanakan dengan mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Penelitian
2. Mencari informasi
3. Bermusyawarah atau diskusi
4. Mengistinbatkan hukum
Salah satu contoh penerapan
metode-metode di atas, adalah apa yang pernah dipraktekan oleh Khalifah Abu
Bakar, ketika beliau diminta kepastian hukum dari seorang nenek dari hal harta
warisan yang ditinggalkan oleh cucunya.
Sedangkan contoh lainnya adalah
ijtihad yang dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. dalam masalah pemberian zakat
pada orang-orang muallaf (orang-orang yang perlu di bujuk hatinya). Padahal
dalam alquran terdapat ketentuan tersebut yang termaktub dalam Surat at-Taubah
(9): 60.
Dalam tindakanya tersebut Khalifah
umar r.a. melihat pada illat diadakanya ketentuan tersebut. Sehingga ketika
illat itu tidak ada maka ketentuan tersebut tidak di berlakukaanya. Dengan
demikian tidak mengherankan para ulama Ushul fiqh menggunakan madzhab
sahabat sebagai sumber hukum. Karena dianggap sesuai dengan kondisi dan situasi di
masa itu. Sehingga ada satu kaidah bahwa “Al-hukmu yaduru ma’al illat”,
suatu hukum bergulir bersamaan dengan illat.
Walaupun apa
yang dilakukan oleh Umar jelas-jelas tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh surat at-Taubah ayat 60, hal itu bukan berarti tindakan dia bertentangan
dengan apa yang di titahkan oleh ayat tersebut, melainkan suatu tindakan yang
sesuai dengan masa di mana pemberian zakat tersebut tidak di perlukan lagi.
Karena alasan pemberian zakat kepada muallaf adalah untuk meluluhkan hati
mereka di mana hal itu sangat di butuhkan sebelum islam menjadi kuat. Sedangkan
pada masa Umar r.a umat islam sudah begitu kuat sehingga tujuan tersebut telah
hilang. Ketika suatu alasan hukum itu telah hilang, maka hukum tersebut juga
tidak di berlakukan.
Dinamika pemikiran para sahabat
didorong oleh semakin luasnya daerah penyebaran Islam yang diikuti dengan
munculnya berbagai permasalahan yang rujukan hukumnya belum ada secara jelas
dalam alqur’an maupun hadis. Kondisi inilah yang mendorong para sahabat
melakukan penafsiran hukum untuk menjelaskan persoalan hokum yang dihadapkan
kepada mereka.
Salah satu alasan perbedaan ini
muncul karena berbedanya pendekatan orientasi yang digunakan sehingga terhadap
suatu masalah dijelaskan makna hukumnya oleh seorang sahabat di suatu daerah
akan berbeda pandangan sahabat lain di daerah lain. Oleh karena itu, pemikiran
hukum dalam Islam sejak awal pembentukannya telah mengenal adanya perbedaan
pendapat di kalangan para fuqaha terutama pada masa sahabat sebagai cermin
dinamisasi hukum yang merespon perubahan masyarakat. Perbedaan pemikiran hukum
di masa sahabat berpengaruh besar terhadap ikhtilaf hukum kaum muslim pada
perkembangan selanjutnya.
Perbedaan fiqh di kalangan para
sahabat berawal dari prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang
belum terjadi di masa Rasulullah sedang kepastian hukumnya belum jelas baik
dalam alqur’an maupun hadis. Para sahabat berbeda pendapat tentang otoritas (siapa
yang berwenang) menafsirkan naskah jika ada masalah yang tidak dijelaskan dalam
alqur’an atau hadis, Dari sini muncul dua pandangan:
1. Kelompok pertama diwakili oleh
Ali bin Abi Thalib memandang bahwa otoritas untuk menetapakan hukum-hukum Tuhan
dan menjelaskan makna-makna alqur’an setelah Rasulullah saw wafat dipegang oleh
ahli Baith. Hanya merekalah yang menurut nash adalah yang berwenang
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini
kemudian dikenal dengan sebutan Ahli al-Baith.
2. Kelompok kedua diwakili oleh Umar
bin Khattab yang berpendapat bahwa tidak ada orang tertentu yang ditunjuk oleh
Rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah Ilahi. Alqur’an dan hadis
adalah sumber untuk menarik hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul
di masyarakat. kelompok ini kemudian dikenal dengan ahli al-Ra’yi.
Sifat berfikir para sahabat yang
berkaitan dengan penafsiran nash sangat bervariasi bahkan cenderung menampilkan
adu argument, seperti Umar bin Khattab pernah melarang haji tamattu, padahal
seara tegas ditetapkan nash. Cara ini kemudian dilakukan pula oleh Usman bin
Affan. Tetapi Ali secara demonstrative melakukannya di hadapan Usman. Kata
Usman: “Aku melarang manusia melakukan tamattu’ dan engkau sendiri melakukannya”.
Jawab Ali: “Aku tidak akan meninggalkan sunnah Rasul hanya karena pendapat
seseorang”. Usman berkata; ‘Sesungguhnya laranganku itu hanya ra’yuku saja.
siapa yang mau, boleh menjalankannya. Siapa yang tidak mau boleh
meninggalkannya”.
Sebab lain dari perbedaan pemahaman
dikalangan para sahabat adalah yang berkaitan dengan sunnah. Para sahabat yang
mengambil hadis Rasul dan meriwayatkannya berbeda-beda dalam kemampuan serta
cara menerima riwayatnya rasul ditanya tentang suatu masalah, ia menghukum dengan
hukum tertentu, memerintah atau melarang sesuatu, melakukan sesuatu yang hadir
pada peristiwa itu, dan yang tidak mengetahuinya. Sebagian sahabat hadir pada
suatu majelis Rasul, sebagian lainnya tidak hadir. Maka setiap orang hanya
mengetahui apa yang ia saksikan dan sudah pasti tidak mengetahui apa yang tidak
dihadirinya. Misalnya kasus tidak mandi junub walau bercampur dengan istri dan
tidak keluar air. Seseorang datang kepada Umar ibn Khattab dan berkata: “Zaid
ibn Tsabit berfatwa bahwa pertemuan dua khitan (tanpa keluar mani) sudah
menjadi sebab lainnya kewajiban mandi junub,” kemudian Zaid bin Tsabit ditanya
Umar. Zaid menjawab, “Aku tidak mengerjakan itu, tetapi aku mendengar hadis itu
dari pamanku”. Hal itu ia tanyakan pula kepada Rifa’ah bin Rafi’, lalu Umar
mengumpulkan kaum Anshar dan Muhajirin untuk bermusyawarah. Di antara sahabat
berkata, “tidak ada di antara kami yang lebih mengetahui hal ini kecuali Nabi
dan para istrinya. Kemudian Umar mengutus sahabat untuk bertanya kepada Hafsah.
Hafsah tidak mengetahuinya. Kemudian diutus sahabat lain untuk bertanya kepada
Aisyah, Aisyah menjawab, “jika dua khitan telah bertemu wajib keduanya mandi”.
Sikap ijtihad para sahabat lebih
mengacu kepada pertimbangan umum walaupun ada nash syar’i. Artinya jika syar’i
ada yang bertentangan dengan kepentingan umum, maka tinggalkan nash syarah dan
dahulukan kepentingan umum. Misalnya pendapat umar yang menafsirkan hukum
karena perubahan zaman tentang jatuhnya talaq tiga dengan satu kalimat. Cara
demikian dilakukan Nabi dan Abu Bakar berdasarkan riwayat yang sahih dari Ibnu
Abbas. Pada masa Khalifah Umar, ia berpendapat “manusia terlalu terburu-buru di
tempat yang seharusnya hati-hati”. Semua orang harus menahan diri untuk tidak
mudah melanjutkan thalaq. Umar kemudian menetapkan hukum thalaq tiga dalam satu
kalimat.
Terakhir, pengaruh hukum yang paling terasa disebabkan oleh
pengaruh politik yang ditinggalkan periode ini adalah pecahnya golongan politik
karena urusan khalifah semata-mata yang lambat laun merembet pada soal agama
0 komentar:
Posting Komentar