BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
pencemaran
nama baik harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan dan tuduhan
dimaksudkan menjadi konsumsi publik.
Dalam penjelasannya, R. Soesilo
mengatakan bahwa tuduhan ini
harus dialamatkan kepada orang - perorangan, jadi, tidak
berlaku apabila yang merasa
terhina ini adalah lembaga
atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum, artinya
agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas dasar membela diri
(berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak dapat
dihukum.Ketentuan hukum penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang
mengadu. Artinya, masyarakat yang
merasa dirugikan oleh pemberitaan pers
yang dianggap mencemarkan
nama baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat hukum agar
perkara bisa diusut.Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan
Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa
berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan.
mengatur beberapa pasal soal
penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal
134, 136, 137, di mana pasal- pasal ini telah dibatalkan oleh dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh MK. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau
Wakil Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap
institusi atau badan umum (seperti DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian,
gubernur, bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209.
Jika penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka
diatur dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum
diatur dalam pasal 310, 311, dan 315 Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal
yang bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah
karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321
(pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin diajukan
penulis pada makalah ini yaitu :
1.
Apa pengertian
pencemaran nama baik ?
2.
Bagaimana
Kuhp Buku Kedua Kejahatan Bab Xvi
Penghinaan ?
3.
Apa Penyebab Pencemaran Nama Baik ?
4.
Apa Dampak
Pencemaran Nama Baik ?
5. Apa contoh kasus pencemaran nama baik kepala negara ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencemaran Nama Baik
Pencemaran
nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum.
Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hokum ini ada yang
mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai
penghinaan. Sebenarnya yang menjadi ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan
sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor
yang harus dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaanini yang
hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati oranglain
dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata orang lain meskipun orang
tersebut telah melakukan kejahatan yang berat.
Kemerdekaan menyatakan
pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh
rakyat Indonesia. Demikian pula sebagai Negara yang berkedaulatan rakyat dan
berdasarkan hukum (rechstaat ), dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka
(machstaat), Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan
pendapat secara lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers
merupakan hak - hak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat dan sekaligus sebagai dasar dari tegaknya pilar demokrasi. Tanpa
adanya kebebasan berbicara, masyarakat tidak dapat menyampaikan gagasan-gagasan
dan tidak bisa mengkritisi pemerintah. Dengan demikian tidak akan ada
demokrasi.
Adanya
hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam hal pencemarannama baik
tersebut, maka dapat dilihat dahulu pengertiannya masing-masing. Kehormatan
adalah perasaan terhormat seseorang dimata masyarakat, dimana setiap orang
memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat.Menyerang
kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang
kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori
menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat pada
tempat perbuatan tersebut dilakukan. Rasa kehormatan ini harus diobjektifkan
sedemikian rupa dan harus ditinjau dengan suatu perbuatan tertentu,seseorang
pada umumnya akan merasa tersinggung atau tidak.. Dapat dikatakan pula bahwa
seorang anak yang masih sangat muda belumdapat merasakan tersinggung ini, dan
bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasa tersinggung itu. Maka, tidak
ada tindak pidana penghinaan terhadap kedua jenis orang tadi.
Pencemaran nama baik / penghinaan /
fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal
sebagai libel, sedangkan yang diucapkan
disebut slander. KHUP menyebutkan bahwa penghinaan/pencemaran nama baik bisa
dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak). Adapun bentuk penghinaan
dibagi dalam lima kategori, yaitu: pencemaran, pencemaran tertulis, penghinaan
ringan, fitnah, fitnah pengaduan dan
fitnah tuduhan. Hakikat penghinaan adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, golongan, lembaga, agama, jabatan,
termasuk orang yang sudah meninggal.Penghinaan lazimnya merupakan
kasus delik aduan. Seseorang yang nama
baiknya dicemarkan bisa melakukan tuntutan ke pengadilan sipil, dan jika menang
bisa mendapat ganti rugi. Hukuman pidana penjara juga bisa diterapkan kepada
pihak yang melakukan pencemaran nama baik.KUHP mengatur beberapa pasal soal
penghinaan. Penghinaan terhadap Presiden dan wakil Presiden diancam oleh pasal
134, 136, 137, di mana pasal- pasal ini telah dibatalkan oleh dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh MK. Penghinaan terhadap Raja, Kepala Negara sahabat, atau Wakil
Negara Asing diatur dalam pasal 142, 143, 144. Penghinaan terhadap institusi
atau badan umum (seperti DPR, Menteri, DPR, kejaksaan, kepolisian, gubernur,
bupati, camat, dan sejenisnya) diatur dalam pasal 207, 208, dan 209. Jika
penghinaan itu terjadi atas orangnya (pejabat pada instansi negara) maka diatur
dalam pasal 316. Sedangkan penghinaan terhadap anggota masyarakat umum diatur
dalam pasal 310, 311, dan 315 Selain itu, masih terdapat sejumlah pasal yang
bisa dikategorikan dalam delik penghinaan ini, yaitu pasal 317 (fitnah karena
pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 320 dan 321
(pencemaran atau penghinaan terhadap seseorang yang sudah mati).
Menurut KUHP pencemaran nama baik
harus memenuhi dua unsur, yaitu ada tuduhan dan tuduhan dimaksudkan menjadi konsumsi publik. Dalam penjelasannya,
R. Soesilo mengatakan bahwa tuduhan
ini harus dialamatkan kepada
orang - perorangan, jadi, tidak berlaku
apabila yang merasa terhina ini adalah lembaga atau
instansi, namun apabila
tuduhan itu dimaksudkan untuk
kepentingan umum, artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas
dasar membela diri (berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak
dapat dihukum.Ketentuan hukum
penghinaan bersifat delik aduan, yakni perkara penghinaan terjadi jika ada pihak yang
mengadu. Artinya, masyarakat yang
merasa dirugikan oleh pemberitaan pers
yang dianggap mencemarkan
nama baiknya atau merasa terhina dapat mengadu ke aparat hukum agar
perkara bisa diusut.Kasus penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, dan
Instansi Negara, termasuk dalam delik biasa, artinya aparat hukum bisa
berinisiatif melakukan penyidikan dan pengusutan tanpa harus ada pengaduan dari
pihak yang dirugikan. Logika dari ketentuan ini adalah presiden, wakil
presiden, dan instansi negara adalah simbol negara yang harus dijaga
martabatnya. Selain itu, posisi jabatannya tidak memungkinkan mereka bertindak
sebagai pengadu.Oleh karena dalam KUHP sejatinya tidak didefinisikan dengan
jelas apa yang dimaksud dengan nama baik, maka sudah tentu pengertian
pencemaran nama baik pun tidak jelas didefinisikan.
Nama
baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau
kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihatdari
sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga
ukurannyaditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat
tertentu ditempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya.
Pencemaran
nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnyaadalah menyerang
nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang
itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang
berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena
menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar,
demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan
seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan
atau nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah
melakukan penghinaan. Oemar Seno Adji mendefinisikan pencemaran nama baik
sebagai menyerang kehormatan atau nama baik (anranding of geode naam). Salah
satu bentuk pencemaran nama baik adalah “pencemaran nama baik secara
tertulis dan dilakukan dengan menuduhkan sesuatu hal.
Secara umum pencemaran nama baik
(Defamation) adalah tindakan mencermarkan nama baik seseorang dengan cara
menyatakan sesuatu baik melalui lisan ataupun tulisan. Pencemaran nama baik
terbagi ke dalam beberapa bagian:
1.
Secara
lisan, yaitu pencemaran nama baik yang diucapkan.
2.
Secara
tertulis, yaitu pencemaran yang dilakukan melalui tulisan.
Dalam pencemaran nama baik terdapat 3
catatan penting didalamnya, yakni :
Pertama,
delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang
artinya penilaian terhadap pencemaran sangat bergantung pada pihak yang
diserang nama baiknya. Oleh karenanya, delik dalam pencemaran merupakan delik
aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan
dari korban pencemaran.
Kedua,
pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran. Artinya, substansi yang berisi
pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku.
Ketiga,
orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang
dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan
untuk membuktikan tuduhan itu.
Bagi
bangsa indonesia, pasal pencemaran nama baik dianggap sesuai dengan karakter
bangsa ini yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur, pencemaran nama baik
dianggap melanggar norma sopan santun bahkan bisa melanggar norma agama jika
yang dituduhkan mengandung unsur fitnah.
Pencemaran
nama baik sangat erat kaitannya dengan suatu kata penghinaan dimana penghinaan
itu sendiri memiliki pengertian perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan
seseorang. Sasaran dalam pencemaran nama baik pun dapat digolongkan menjadi :
1.
Terhadap
pribadi perorangan.
2.
Terhadap
kelompok atau golongan.
3.
Terhadap
suatu agama.
4.
Terhadap
orang yang sudah meninggal.
5.
Terhadap
para pejabat yang meliputi pegawai negeri, kepala negara atau wakilnya dan
pejabat perwakilan asing.
Larangan
memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam pasal 27 dan pasal 28 UU
ITE No. 11 tahun 2008 sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak individu dan
institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan kita publikasikan
seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang bersangkutan
tidak merasa dirugikan dengan perbuatan kita tersebut sehingga kita bisa
mempertanggung jawabkannya.
Selain
pasal 27 dan 28 UU ITE No. 11 2008 tentang pencemaran nama baik, dalam
kitab-kitab undang hukum pidana juga mengatur tentang pidana penghinaan dan
pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai penghinaan dan pencemaran
nama baik ini memang sudah lama berada dalam dunia hukum.
Berdasarkan
Pasal 310 KUHP dan pasal 27 ayat (3) UU ITE, untuk dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana pencemaran nama baik, maka harus dibuktikan unsur-unsur sebagai
berikut:
1.
Adanya
kesengajaan;
2.
Tanpa
hak (tanpa izin);
3.
Bertujuan
untuk menyerang nama baik atau kehormatan;
4.
Agar
diketahui oleh umum.
Kejahatan
di dunia maya merupakan kejahatan modern
yang muncul seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kejahatan di dunia maya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
kejahatan-kejahtan konvensional yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum
pidana (KUHP).
Menurut R.Soesilo penghinaan dalam
KUHP ada 6 macam :
1.
Menista secara lisan
2.
Menista secara tertulis
3.
Memfitnah
4.
Penghinaan ringan
5.
Menyadu secara memfitnah
6.
Tuduhan secara memfitnah
B. KUHP Buku Kedua Kejahatan Bab XVI Penghinaan
Pasal 310
- Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
Pasal 311
- Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
- Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Pasal 312
Pembuktian akan kebenaran tuduhan
hanya dibolehkan dalam hal-hal berikut:
- apabila hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu guna menimbang keterangan terdakwa, bahwa perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa untuk membela diri;
- apabila seorang pejabat dituduh sesuatu hal dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 313
Pembuktian yang dimaksud dalam pasal
312 tidak dibolehkan, jika hal yang dituduhkan hanya dapat dituntut atas
pengaduan dan pengaduan tidak dimajukan.
Pasal 314
- Jika yang dihina, dengan putusan hakim yang menjadi tetap, dinyatakan bersalah atas hal yang dituduhkan, maka pemidanaan karena fitnah tidak mungkin.
- Jika dia dengan putusan hakim yang menjadi tetap dibebaskan dari hal yang dituduhkan, maka putusan itu dipandang sebagai bukti sempurna bahwa hal yang dituduhkan tidak benar.
- Jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja
yang tidak bersifat peneemaran atau pencemaran tertulis yang dilakuknn terhadap
seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang
itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan stau
diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Pasal 316
Pidana yang ditentukan dalam
pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dspat ditambah dengan sepertiga jika yang
dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang
sah.
Pasal 317
- Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun,
- Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No, 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Pasal 318
- Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
- Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
Pasal 319
Penghinaan yang diancam dengan pidana
menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena
kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316.
Pasal 320
- Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari salah seorang keluarga sedarah maupun semenda dalam garis lurus atau menyimpang sampai derajat kedua dari yang mati itu, atau atas pengaduan suami (istri)nya.
- Jika karena lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak, maka kejahatan juga dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Pasal 321
- Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina atau bagi orang ymg sudah mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu ditahui atau lehih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu hulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Jika Yang bersalah melakukan kejahatan tersehut dalam menjalankan pencariannya, sedangkan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat. dicabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut.
- Kejahatan ini tidak dituntut kalau tidak ada pengaduan dari orang yang ditunjuk dalam pasal 319 dan pasal 320, ayat kedua dan ketiga.
Pasal 35
Hak-hak terpidana yang dengan putusan
hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang
ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
- hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
- hak memasuki Angkatan Bersenjata;
- hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
C. Penyebab Pencemaran Nama Baik
Ada
beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya pencemaran nama baik yaitu
sebagai berikut:
1.
Secara
lisan
2.
Secara
tulisan
3.
Menuduh
suatu hal di depan umum
D. Dampak Pencemaran Nama Baik
Dampak
dari pencemaran nama baik seseorang akan mengalami kerugian materi dan non
materi di antaranya:
1.
Membekukan
kebebasan berekspresi
2.
Menghambat
kinerja seseorang
3.
Merusak
popularitas dan karier
4.
Perihal
pencitraan seseorang atau institusi
E. Penanggulangan
Agar
masyarakat lebih berhati-hati dalam menggunakan lisan atau tulisan. Pemerintah
bersama-sama dengan DPR untuk memperbaiki UU informasi dalam melakukan
transaksi baik langsung maupun melalui media electronik karena banyak
pasal-pasal yang bertentangan dengan hak azasi manusia. Lebih bijak dalam
mengeluarkan kata-kata/statement atau pernyataan yang bersifat pribadi baik
melalui lisan ataupun tulisan. Ketika akan melakukan pengaduan harap
dilampirkan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan.
F. Contoh Kasus Pencemaran Nama Baik Kepala
Negara
Jakarta - Anggota Komisi III, Ahmad Basarah mendukung
dihidupkannya lagi pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP. Namun dia berpesan
agar DPR dan pemerintah berhati-hati dalam penyusunan pasal."Harus
berhati-hati menyusun pasal tersebut agar tidak menjadi pasal karet yang dapat
digunakan oleh penguasa untuk membungkam sikap kritis warga negaranya seperti
di zaman orde baru dulu," kata Basarah, Jumat (5/4/2013) malam Basarah
secara pribadi mendukung adanya pasal ini. Menurutnya presiden memang wajib
dilindungi harkat dan martabatnya oleh UU.
"Karena dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, seorang presiden adalah juga berkedudukan sebagai lambang negara," tuturnyaKarena itu, pasal penghinaan terhadap presiden, menurut politikus PDIP ini, perlu diatur dalam KUHP. "Namun yang terpenting pengaturan pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut harus jelas dan tegas kriteria serta batasan-batasannya," imbuhnya."Penegasan tersebut sangat penting agar tidak rancu dengan sikap warga negara yang sebenarnya bersifat mengkritik kebijakan presiden," ujar Basarah.Menurutnya, kritik terhadap presiden tidak boleh dilarang ataupun diberikan sanksi. "Tetapi terhadap sikap penghinaan kepada kepala negara, saya setuju hal itu diatur," tutup Basarah.Pasal penghinaan terhadap presiden tertuang dalam pasal 256 RUU KUHP, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta. MK sendiri telah mencabut pasal penghinaan terhadap presiden dalam draf rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP), karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.Tapi kini pasal itu dimunculkan kembali oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin berkilah, presiden seorang kepala negara yang patut dihormati. Maka sah saja jika dibuatkan pasal khusus terkait penghinaan kepada presiden dalam KUHP Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Presiden Indonesia dalam kurun waktu tertentu pernah begitu menikmati kekuasaan dan kewenangan yang tanpa kontrol. Selain menempati kekuasaan dan kewenangan yang besar, Presiden Indonesia juga sangat istimewa karena secara khusus dilindungi oleh hukum pidana. Ada masa ketika aturan pidana tentang perlindungan Presiden ini tidak masif digunakan, karena pada saat yang sama ada regulasi yang lebih “lebih sempurna” untuk melindungi tidak hanya Presiden tapi juga penguasa secara keseluruhan; UU Anti Subversi. Dengan keberadaan regulasi Anti Subversi menyebabkan Presiden tak perlu sering-sering menggunakan ketentuan pidana yang melindungi Presiden. Namun apa boleh buat, UU Anti Subversi harus dicabut karena tak lagi sesuai dengan iklim yang membuka adanya perbedaan pendapat.
"Karena dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, seorang presiden adalah juga berkedudukan sebagai lambang negara," tuturnyaKarena itu, pasal penghinaan terhadap presiden, menurut politikus PDIP ini, perlu diatur dalam KUHP. "Namun yang terpenting pengaturan pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut harus jelas dan tegas kriteria serta batasan-batasannya," imbuhnya."Penegasan tersebut sangat penting agar tidak rancu dengan sikap warga negara yang sebenarnya bersifat mengkritik kebijakan presiden," ujar Basarah.Menurutnya, kritik terhadap presiden tidak boleh dilarang ataupun diberikan sanksi. "Tetapi terhadap sikap penghinaan kepada kepala negara, saya setuju hal itu diatur," tutup Basarah.Pasal penghinaan terhadap presiden tertuang dalam pasal 256 RUU KUHP, setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta. MK sendiri telah mencabut pasal penghinaan terhadap presiden dalam draf rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP), karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.Tapi kini pasal itu dimunculkan kembali oleh pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang KUHP yang telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin berkilah, presiden seorang kepala negara yang patut dihormati. Maka sah saja jika dibuatkan pasal khusus terkait penghinaan kepada presiden dalam KUHP Presiden dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Presiden Indonesia dalam kurun waktu tertentu pernah begitu menikmati kekuasaan dan kewenangan yang tanpa kontrol. Selain menempati kekuasaan dan kewenangan yang besar, Presiden Indonesia juga sangat istimewa karena secara khusus dilindungi oleh hukum pidana. Ada masa ketika aturan pidana tentang perlindungan Presiden ini tidak masif digunakan, karena pada saat yang sama ada regulasi yang lebih “lebih sempurna” untuk melindungi tidak hanya Presiden tapi juga penguasa secara keseluruhan; UU Anti Subversi. Dengan keberadaan regulasi Anti Subversi menyebabkan Presiden tak perlu sering-sering menggunakan ketentuan pidana yang melindungi Presiden. Namun apa boleh buat, UU Anti Subversi harus dicabut karena tak lagi sesuai dengan iklim yang membuka adanya perbedaan pendapat.
Sejak regulasi anti demokrasi tersebut dicabut
pada 19 Mei 1999 melalui UU
No 26 Tahun 1999, mulai marak pemidanaan terhadap para pengkritik Presiden
dengan menggunakan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP.
Tercatat setidaknya enam kasus yang diajukan ke muka persidangan karena
tindakan dan/atau ekspresi politiknya dianggap sebagai menghina Presiden.
Pada 6 Desember 2006, perjuangan panjang para
aktivis pro demokrasi untuk lebih membuka keran kebebasan telah menemukan
momentumnya. Pada tanggal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa
Pasal 134, 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.
Sejak putusan itu, tak ada lagi aktivis yang dapat dijerat dengan pasal-pasal
tersebut, sekeras apapun kritiknya. Sebagai
catatan bahwa orang yang menduduki jabatan Presiden, dalam kualitas sebagai
pribadi, masih dapat mengajukan tuntutan pidana bagi orang-orang yang dianggap
telah menghinanya sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP.
Sedikit merepotkan bagi Presiden, karena polisi tak lagi dapat secara otomatis
mengajukan tuntutan tanpa ada laporan dari Presiden dan dilakukannya
pemeriksaan terhadap diri orang yang menduduki jabatan Presiden. Maret lalu, Presiden menyerahkan dua
regulasi yang konon penting bagi Republik ini. Keduanya adalah Rancangan KUHAP
dan Rancangan KUHP. Khusus untuk Rancangan KUHP dimaksudkan untuk mengganti
ketentuan hukum pidana yang menurut para pembuat rancangan tersebut adalah warisan
kolonial. Meski diklaim warisan kolonial, patut diingat bahwa KUHP yang berlaku
saat ini tak dapat dinyatakan warisan kolonial begitu saja, karena aturan
pidana ini justru memiliki akta kelahiran resmi yaitu UU
No 1 Tahun 1946. Namun sayang,
rancangan KUHP yang katanya menggantikan hukum pidana produk kolonial justru
memiliki aturan-aturan yang dapat membawa kita kembali pada masa kolonialisme
atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme itu sendiri. Salah satu sebabnya
adalah diintrodusirnya kembali pasal Penghinaan Presiden yang diatur dalam
Pasal 263 RKUHP.Entah apa sebabnya muncul gagasan menghidupkan kembali
aturan kolonial yang sempat “dimatikan” oleh Mahkamah Konstitusi. Tak ada basis
teoritis dan penjelasan ilmiah yang dapat diterima oleh akal sehat kecuali
hanya penjelasan tentang adanya kejanggalan apabila penghinaan orang
biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan,
petugas/pejabat umum dan Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana,
sedangkan terhadap Presiden/Wakil Presiden secara khusus tidak.
Indonesia telah mengalami dua periode yang dapat
menjadi pelajaran berharga bagi pembentukan hukum pidana yaitu pada saat
ketentuan pidana penghinaan presiden ada dan ketika ketentuan tersebut tidak
lagi berlaku. Mestinya diadakan penelitian yang mendalam apakah dengan
ketiadaan pasal penghinaan presiden telah mengakibatkan gangguan yang serius
terhadap ketertiban umum, atau menyebabkan tidak berfungsinya peran-peran dari
seorang Presiden, atau lebih jauh lagi apakah ketiadaan aturan penghinaan
Presiden telah menyebabkan seorang Presiden tidak lagi berwibawa atau bahwa
seluruh perintah-perintah Presiden telah diabaikan oleh rakyatnya?
Kalau penelitian mendalam atas hubungan ketiadaan
pasal penghinaan presiden dengan aspek-aspek ketertiban umum seperti ini tidak
diadakan, lalu kenapa para perumus RKUHP begitu ngotot untuk memasukkan kembali
pasal-pasal tersebut? Lagipula jika merujuk pada putusan-putusan MA pada saat
pasal ini masih ada terutama selepas masa 1998, pada umumnya para pelanggar
ketentuan penghinaan Presiden hanya dijatuhi hukuman percobaan. Artinya secara
implisit Mahkamah Agung tak lagi memandang penting keberadaan pasal-pasal ini.
Jika demikian, lalu apa yang membuat Presiden
begitu risau sehingga perlu untuk memasukkan lagi perlindungan khusus dalam
hukum pidana untuk Presiden? Apapula kepentingan dan kekuatiran Presiden akan
suara dan aspirasi dari rakyatnya sehingga membulatkan tekat Presiden untuk
membentuk aturan khusus demi menjaga martabat dan wibawanya?
Rasa-rasanya masih cukup banyak urusan yang jauh
lebih penting untuk diurus seorang Presiden ketimbang mengurusi dan ngotot memasukkan
aturan untuk melindungi wibawa dan martabatnya. Lagipula, Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat mestinya dapat menerima dengan lapang dada betapapun keras
dan pahitnya sebuah ucapan dan kritikan dari rakyatnya. Lebih baik untuk
Presiden apabila ia dapat meresapi suara dan aspirasi rakyatnya untuk
terciptanya pemerintahan yang semakin demokratis, ketimbang membuat perisai
bagi dirinya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pencemaran
nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum.
Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hokum ini ada yang
mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai
penghinaan.
2.
Nama
baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau
kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu
dilihatdari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga
ukurannyaditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat
tertentu ditempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya.
3. Dalam
penjelasannya, R. Soesilo
mengatakan bahwa tuduhan ini
harus dialamatkan kepada orang - perorangan, jadi, tidak
berlaku apabila yang merasa
terhina ini adalah lembaga
atau instansi, namun apabila tuduhan itu dimaksudkan untuk kepentingan umum,
artinya agar tidak merugikan hak-hak orang banyak atau atas dasar membela diri
(berdasarkan pertimbangan hakim), maka sang penuduh tidak dapat dihukum.
4. Contoh
kasus yang lain pencemaran nama baik Usulan merevisi pasal pencemaran nama
baik, terutama di UU ITE, datang dari berbagai kalangan.Usulan revisi itu
muncul akibat adanya kasus-kasus yang menjerat individu maupun pers dengan
menggunakan pasal pencemaran nama baik.
B. Saran
Kami berharap
semoga makalah ini dapat menjadi salah satu referensi dan pengetahuan untuk
mengetahui lebih dalam tentang evolusi. Dan untuk lebih menyempurnakan makalah
ini kami berharap saran dan masukan dari para dosen dan mahasiswa sekalian
untuk perbaikan makalah ini ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Moelajatno.
2007. Kitab undang – undang hukum pidana. Bumi aksara : jakarta
Undang
– undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
Undang
– undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Undang
– undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
Undang
– undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers
0 komentar:
Posting Komentar